Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Selasa, 15 Oktober 2024

Makna Logo OMK Perdagangan - KAM


Makna Logo OMK "St Edith Stein"

Paroki Perdagangan - Keuskupan Agung Medan


1. St. Edith Stein : Sebagai pelindung dan figur teladan bagi OMK Paroki Perdagangan dalam menghidupi iman di masa muda.

2. Tameng warna coklat : lambang panggilan untuk OMK supaya selalu berjaga dan bertahan di tengah tantangan iman dan zaman yang ada di sekitar mereka, tanpa harus menyombongkan diri.

3. Ikon orang muda: lambang OMK yang bergandeng tangan (selalu bersama) dan yang selalu optimis - bersuka cita. Warna merah dan kuning melambangkan harapan bagi OMK Paroki Perdagangan supaya melalui komunityas OMK, mereka dapat hidup dalam keberanian, kesucian/kemuliaan, dan penuh pengorbanan.

4. Salib dengan ukiran Batak : melambangkan iman Katolik yang sudah tertanam di tanah Batak yang menjadi dasar dan pegangan iman OMK Paroki Perdagangan.

5. Merpati berwarna kuning ke merah-merahan : melambangkan Roh Kudus yang menjadi sumber rahmat Pentakosta bagi seluruh OMK Peroki Perdagangan.

6. Tulisan “OMK St. Edith Stein Paroki Perdagangan” : Nama ini menjadi pemersatu OMK seluruh stasi/lingkungan di Paroki Perdagangan.

Jumat, 20 November 2020

Paroki Perdagangan, KAM

 SEKILAS PERJALANAN PAROKI "KRISTUS RAJA" PERDAGANGAN 

KEUSKUPAN AGUNG MEDAN




Sejarah Panjang Paroki Perdagangan dimulai sebelum era tahun 1970-an.  Pada masa itu, stasi Perdagangan merupakan bagian dari Paroki St. Laurentius, PematangSiantar.  Pastor-pastor Kapusin melayani umat Katolik di wilayah timur kabupaten Simalungun.  Tidak semua stasi memiliki fasilitas gereja termasuk, stasi Perdagangan.  Misa dilaksanakan di perumahan yang berlokasi di Pasar I, Perdagangan.   

 



Tahun 1968 pemerintah kecamatan Bandar menyetujui lokasi pembangunan gereja Katolik dan Pastoran yang terletak di jalan Sudirman, Perdagangan.

Pembangunan gereja dimulai pada tahun 1969.  Dukungan dana berasal dari umat dan para donator yang disampaikan melalui Pastor Lambertus Woestenberg OFM. Cap.  Selanjutnya Pastor Lambertus bersama para pengurus gereja mengajukan pembentukan Paroki ke Keuskupan Agung Medan. 

Tanggal 5 Juli 1970 resmi berdiri Paroki Perdagangan dengan Pastor Paroki, Pastor Lambertus Woestenberg OFM. Cap dan Pastor rekan, Pastor Cosmas Peter O.Carm. 


 

Ruang lingkup pelayanan Pastoral Paroki terdiri atas 40 stasi dengan Perdagangan sebagai Stasi Induk.

Sejak dari terbentuknya, Paroki Perdagangan mendapatkan pelayanan dari berbagai Tarekat yang diawali oleh Ordo Kapusin dan Ordo Karmel, Serikat Xaverian, Imam Projo, dan kemudian kembali lagi ke Ordo Karmel yang melayani umat Paroki Perdagangan hingga sekarang ini.

 


Pada tahun 1989 Rapat Dewan Paroki Harian (DPH) Perdagangan menetapkan nama pelindung gereja yaitu Paroki Kristus Raja Perdagangan.

Setelah 37 tahun penggembalaan umat di paroki Perdagangan, pada tahun 2007 dilaksanakan pembongkaran gereja paroki yang lama dan dilanjutkan pembangunan gereja Paroki yang baru di bawah pimpinan Pastor Tinto Hasugian O.Carm.

Tepat pada tanggal 21 Desember 2008, Uskup Agung Medan – saat itu – Mgr. Alfred Gontipius Datubara, OFM. Cap. Berkenan meresmikan Gereja baru Paroki Kristus Raja Perdagangan


Melalui rapat Kevikepan di Nagahuta Pematang Siantar, pada tahun 2018 dilakukan persiapan pemekaran Paroki Perdagangan melalui pembentukan Kuasi Cinta Damai. Di akhir tahun 2020 pelayanan Pastoral Paroki Perdagangan sudah tidak meliputi Kuasi Cinta Damai.

Dan mulai saat itu, paroki Perdagangan melayani 24 stasi.

Senin, 03 Agustus 2020

Maria Bunda Gereja


Maria Bunda Gereja

Peringatan Maria Bunda Gereja secara resmi diperingati pada hari senin setelah Pentakosta. Keputusan ini disampaikan oleh Paus Fransiskus melalui kongergasi Ibadat Suci. Paus menyatakan bahwa Maria memiliki peran yang penting dalam Gereja. Maria memiliki peran penting sebagai Bunda dalam Gereja. Sebagai anggota Gereja, kita merayakan peringatan ini sebagai cara untuk menumbuhkan penghormatan kepada Maria sebagai ibu Gereja.
Dasar yang menjadikan Maria sebagai Bunda Gereja adalah “Fiat Voluntas Tua” yang ia ucapkan pada saat menerima kabar dari malaikat. Melalui peristiwa ini, Maria setuju untuk menerima misteri inkarnasi. Dalam peristiwa ini, Maria hadir sebagai Bunda Gereja. Maria membangun relasi dengan rahmat Allah Bapa. Rahmat Allah inilah yang memampukan tugasnya sebagai Bunda Allah dan Bunda Gereja.
Kehadiran Maria sebagai Bunda Gereja terlihat jelas dalam komunitas Gereja Perdana (12 rasul). Maria berdoa bersama mereka. “Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, Ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus” (bdk. Kis 1:14). Melalui doa, Maria hadir di tengah Gereja perdana dan menjadi gambaran Gereja sepanjang masa.
Gelar Bunda Gereja pertama kali digunakan oleh Mgr. Berengaud, Uskup Treves (Ϯ 1125). Paus Leo XIII menyebut Maria Bunda Gereja dan guru dan Ratu Para Rasul  dalam ensikliknya Adjutricem Populi /penolong umat manusia (September 1895).  Paus Yohanes XXIII berbicara tentang Bunda Maria sebagai “Bunda Gereja dan Bunda Kita yang paling terkasih” pada tanggal 6 Desember 1960 di Basilika St. Maria Maggiore. Paus Paulus VI  menyatakan, “Demi kemuliaan Santa Perawan dan demi penghiburan kita sendiri, kita memaklumkan bahwa Santa Perawan Maria Bunda Gereja, yaitu, ibu seluruh umat kristiani, baik umat beriman maupun para gembalanya dan kita menyebutnya Bunda yang paling terkasih” pada tanggal 21 November 1964.
Maria dijadikan sebagai Bunda Gereja karena mendapat tempat di dalam hati putera-puteri Maria, yakni Gereja. Sebagai Bunda,  Maria menyertai dan menjiwai putera-puterinya, tidak secara fisik namun secara spiritual dalam peziarahan hidup mereka. Maria memiliki cinta yang sungguh mempesona bagi Gereja.
Sebagai putra-putri Maria, kita dipanggil untuk  menghormati Maria sebagai Bunda. Pengalaman Maria sebagai Bunda memiliki peran penting dalam hidup kita. Pengalaman ini akan membawa kita sampai pada Yesus. Melalui Maria kita dapat sampai pada Yesus (Tota Christi per Mariam). 

(Oleh: Fr. Joko Merdiko, O.Carm.)




Sumber:
Lumen Gentium Art.60






St. Dominikus Savio


St. Dominikus Savio
Oleh: Marianus Ivo Meidinata, O.Carm.

Dominikus Savio lahir di Riva, Chieri, Italia Utara - tanggal 2 April 1842. Ayahnya - Carlo adalah seorang pandai besi dan ibunya - Birgitta Savio adalah seorang penjahit. Orang tua Dominikus selalu bekerja keras untuk menghidupi kesepuluh anak mereka.
Sejak kecil, Dominikus selalu mengikuti Perayaan Ekaristi bersama ibunya. Mereka juga terbiasa berdoa di depan tabernakel. Doa pribadi juga tidak lupa dilakukan olehnya. Kebiasaan yang membentuk kepribadiannya di masa kecil.
Dominikus menerima Komuni Pertama pada usia 7 tahun. Hal itu tidak lumrah. Menurut kebiasaan saat itu, Komuni Pertama boleh diterima oleh anak yang sudah berumur 12 tahun. Pastor parokinya kagum, karena iman dan kesalehannya.
Setelah lulus sekolah dasar, dia menjadi murid Santo Yohanes Don Bosco di sekolah khusus orang miskin. Bagi Don Bosko, Dominikus adalah remaja yang dikaruniai Rahmat Allah yang besar.
Dominikus bertumbuh dalam kerasulan. Dia mengajar agama dan mata pelajaran lain. Dia juga aktif merawat orang sakit. Dan untuk mendidik anak yang nakal, ia mendirikan klub remaja sambil memberi katekese kepada mereka. Inilah suatu kegiatan kerasulan sederhana yang dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, timbul dalam hatinya kepastian bahwa ia akan meninggal muda. Kepada Don Bosco, ia mengatakan: “Tuhan membutuhkanku untuk menjadi orang Kudus di surga. Aku akan mati. Bila aku tidak mati, aku akan tergolong manusia yang gagal.”
Pada usia 20 tahun, ia mempersembahkan diri kepada Bunda Maria. Dia berjanji untuk hidup secara murni. Dia meminta agar diperkenankan meninggal sebelum dia melanggar janji itu. Untuk menjaga janji ini, ia selalu berdoa dan mengaku dosa.
Pada tahun 1856, Dominikus jatuh sakit. Dia menolak bujukan dokter untuk pulang. Namun Don Bosco dengan tegas memintanya untuk pulang ke rumah orang tuanya.
Namun kesehatannya semakin memburuk. Dia meminta supaya diberi sakramen Rekonsiliasi dan Pengurapan Orang Sakit. Setelah itu, dia meminta ayahnya untuk berdoa demi kedamaiannya. Tepat saat itu, tanggal 9 Mei 1857, pukul sembilan malam, dia berkata, “Selamat tinggal, ayah, selamat tinggal. Aku telah melihat sesuatu yang sungguh indah.” Lalu dia menghembuskan nafas yang terakhir.
Dominikus Savio dinyatakan sebagai Beato pada tahun 1950. Dan kanonisasinya dilaksanakan  pada tahun 1957. St. Dominikus Savio diangkat sebagai pelindung klub-klub remaja dan diperingati pada tanggal 6 Mei.

Refleksi:
St. Dominikus Savio pernah berkata, “Lebih baik mati daripada berbuat dosa.” Inilah iman yang perlu dimiliki oleh setiap umat beriman. Sebab ketika kita berbuat dosa, kita telah menghina Allah sumber dari segala kebenaran dan kebaikan. 

Sumber:
1.    http://donboscowest.org/saints/dominicsavio
2.    Mgr. NicolaasMartinusSchneiders, CICM, Orang Kudus SepanjangTahun, Jakarta: Obor, 1997, hlm. 218-219.