PENGARUH
DAN JARINGAN INTERAKSI ELITE LOKAL
DALAM
PEMBANGUNAN PEDESAAN
DI
KABUPATEN JOMBANG, JAWA TIMUR
Oleh:
Marianus Ivo Meidinata
POKOK
PERMASALAHAN
Pembangunan
pedesaan adalah salah satu program pemerintah yang dikerjakan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah pedesaan. Usaha pemerintah ini
masih belum sepenuhnya terlaksana karena pemerintah belum memanfaatkan semua elite
lokal yang ada di daerah pedesaan, yang nyatanya memiliki pengaruh besar pada
masyarakat.
Fenomena
yang terjadi di daerah pedesaan - Kabupaten Jombang, cukup
menjadi bahan menarik dalam program penelitian sosiologi. Hal ini
dikarenakan pengaruh figur tokoh agama masih cukup
dominan dalam aktivitas keseharian masyarakat. Mereka bukan hanya menjadi
teladan dalam tindakan beragama, namun juga menjadi panutan dalam tindakan
bermasyarakat. Melalui suatu proses interaksi sosial
yang berkesinambungan, mereka menyatu dan membentuk
kekuatan yang mampu mengkokohkan status mereka menjadi suatu kelas yang
mandiri.
Pada pembahasan ini, penulis mengambil tiga desa di Kabupaten Jombang
untuk menjadi sampel dalam penelitian. Penulis juga mengambil tiga proyek
pembangunan pedesaan sebagai sampel dari penelitian ini, yaitu Proyek Supra
Insus Padi (PSIP), Proyek Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), dan Proyek Bantuan
Pedesaan (PBP) sebagai upaya mendorong terciptanya desentralisasi pembangunan
pedesan.
Pada
kesempatan ini, penulis akan membahas
tingkat pengaruh kelompok elite lokal dalam proses perumusan tindakan krusial
yang berkaitan dengan implementasi proyek pembangunan di daerah pedesaan.
Selain itu, pembahasan juga mengarah pada struktur jaringan interaksi antar
kelompok elite lokal dalam mengakomodasi implementasi proyek pembangunan.
PEMBAHASAN
Kelompok elite lokal adalah kelompok kecil yang tergolong disegani,
dihormati, dan berkuasa dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Mereka memiliki
pengaruh dalam aktivitas perekonomian dan proses pengambilan keputusan desa.
Mereka dibedakan dalam tiga golongan elite lokal yaitu pamong desa, para tokoh
agama, dan para petani kaya.
Ada dua isu krusial, yang cukup tepat digunakan sebagai sarana penelitian
pengaruh kelompok elite lokal di pedesaan. Pertama, terlihat dalam proses
pemilihan ketua kelompok petani PSIP maupun TRI. Jabatan sebagai ketua memang
tidak terkesan menjadi hal yang hebat dalam dua organisasi ini. Namun
masyarakat cukup berhati-hati dalam menentukan pilihan. Ketua PSIP dan TRI
adalah seorang yang nantinya akan cukup sering berhubungan dengan KUD maupun
pemerintah setempat. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat perlu
menentukan ketua yang cukup mudah berbagi informasi maupun bahan-bahan yang
diperoleh dari KUD maupun pemerintah.
Isu kedua adalah isu perencanaan Proyek Bantuan Pedesaan. Masyarakat
juga cukup serius dalam menentukan lokasi dan jenis proyek yang akan
dilaksanakan. Kecermatan dalam memilih sangat diperlukan karena jenis proyek
ini berkaitan dengan kebijaksanaan lain yang menyangkut kepentingan masyarakat
umum, seperti pengadaan dana swadaya dan penyaluran tenaga kerja. Pemerintah bertugas
memberikan dana bantuan kepada masyarakat, dan pembagian dana tersebut menjadi
tanggung jawab wakil dari masyarakat setempat.
Pemilihan pengurus kelompok di atas, idealnya dilakukan secara demokrasi
yaitu dengan mengumpulkan perwakilan masyarakat terutama para petani yang
terlibat dalam kelompok itu. Namun pada kenyataannya, peneliti menemukan hasil
yang sangat berlawanan. Ternyata kepala desa dengan sejumlah pihak telah
melakukan diskusi kecil, sebelum rapat resmi diselenggarakan. Mereka membahas
siapa yang layak menyandang jabatan sebagai ketua dan strategi apa yang akan
dilakukan untuk memenangkannya. Pada akhirnya, calon yang telah mereka pilih menjadi
calon terkuat dalam proses pemilihan. Calon ketua yang dipilih harus mampu
mengendalikan aktifitas proyek pembangunan dan bisa bekerja sama dengan pamong
desa.
Penemuan ini memperlihatkan bahwa pamong desa memiliki peranan yang
sangat dominan. Mereka menjadi penentu arah dari hampir semua tindakan yang
dirumuskan. Sementara itu, kelompok elite pemuka agama tidak terlalu dominan
dalam isu-isu di atas, tidak sepadan dengan peranan mereka dalam kehidupan
sehari-hari yang cukup menonjol. Kecenderungan semacam ini juga menimpa
kelompok elite petani kaya, meskipun tidak seburuk pemuka agama. Mereka tidak
terlalu berperan dalam proses pembangunan desa karena mereka dianggap sebagai
petani biasa yang sejajar dengan petani yang lain. Padahal pada kenyataannya,
keberadaan mereka cukup berpengaruh bagi para petani yang lain.
Walaupun interaksi yang terjadi masih begitu minimalis, mereka tetap
menjalin interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pamong desa
sebagai kelompok yang dominan memiliki tempat yang dekat dengan pusat jaringan.
Kelompok pamong desa lebih leluasa dalam mengembangkan kiprah yang berkaitan
dengan implementasi proyek pembangunan. Sedangkan kelompok pemuka agama dan
petani kaya hanya berada di pinggiran dari sistem jaringan yang ada, seakan
peranannya tidak diperhitungkan dalam proses pembangunan pedesaan. Status
mereka sebagai kelompok informal berada jauh dari lingkaran pusat pembangunan
pedesaan.
Lalu, mengapa kelompok elite informal tersebut menjadi kelompok yang
tidak terlalu berpengaruh bagi pembangunan desa? Hal ini dapat terlihat dalam
program-program yang dicanangkan di daerah tersebut. Misalnya saja Proyek Supra
Insus Padi (PSIP). Dalam proyek ini, pamong desa mengambil peranan yang
dominan. Pamong desa menjadi jembatan perantara antara pemerintah pusat (dalam
hal ini adalah kecamatan) dengan petani desa. Akibatnya, pamong desa menjadi
pihak yang mengetahui informasi terlebih dahulu dibanding kelompok yang lain,
sehingga mereka dipandang lebih mampu menyalurkan ide baru seputar pertanian.
Begitu pula dalam Proyek Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan Proyek Bantuan
Pedesaan (PBP), pamong desa menjadi penentu kebijakkan yang akan diambil. Bahkan
kepentingan dan kehendak pamong desa seakan menjadi patokan bagi keputusan
desa.
Jika hal seperti ini tetap dipertahankan, tentu akan menimbulkan banyak
konflik. Dalam kehidupan masyarakat desa yang terbuka, tuntutan dan kemauan
masyarakat akan semakin kompleks. Pengetahuan masyarakat pun akan semakin
berkembang sehingga kesadaran akan realitas kesejahteraan masyarakat semakin
mereka sadari. Karena itu, akan menjadi beban yang berat jika pemecahan setiap
masalah hanya ditanggung oleh pamong desa.
Pamong desa perlu lebih giat bekerja sama dengan pemuka agama dan petani
kaya dalam proses pembangunan desa. Dengan kerja sama antar ketiga kelompok
elite lokal tersebut, pembangunan desa akan berjalan lebih lancar dan tertata
rapi. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat akan lebih mudah terwujud di dalam
pembangunan pedesaan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
KESIMPULAN
Pembangunan pedesaan di Kabupaten Jombang Jawa Timur, masih didominasi
oleh para pamong desa. Padahal pengaruh para pemuka agama dan petani kaya di
daerah tersebut masih cukup dominan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu,
perlu adanya perubaha sikap dalam proses pembangunan pedesaan di daerah
tersebut yaitu dengan meningkatkan proses kerja sama antar ketiga kelompok
elite lokal supaya pembangunan pedesaan dapat berjalan demi kesejahteraan
bersama.
PENILAIAN/ KRITIK
Saya mendukung artikel yang telah ditulis oleh Sunyoto Usman, yang telah
saya ringkas di atas. Kelompok elite lokal yang ada di daerah pedesaan perlu
memiliki kadar peranan yang sama dalam proses pembangunan pedesaan. Mereka
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga
tidak ada salahnya jika pembangunan pedesaan memanfaatkan ‘sumber daya manusia’
yang ada (dalam hal ini adalah para elite lokal). Para elite lokal dengan
segala kemampuan dan kelebihan, perlu dimanfaatkan secara maksimal terutama
dalam bentuk kerja sama/ interaksi yang seimbang. Dengan demikian, menurut saya,
tujuan pembangunan desa akan terlaksana jika menggunakan pihak-pihak yang cukup
berpengaruh di lingkungan masyarakat pedesaan[1].
Namun saya berpendapat bahwa lebih baik para tokoh agama berperan
sebagai pihak penasehat dan pemantau para pamong desa dan para petani kaya
dalam bekerja. Bagi saya, walaupun para tokoh agama cukup berpengaruh pada
tindak dan pemikiran masyarakat, namun mereka sebaiknya tidak terlalu ikut
campur pada urusan ‘politik’. Pengaruh yang mereka miliki lebih baik disalurkan
dengan mendukung program yang ada, sembari memberi nasehat dan dukungan moral
bagi masyarakat dan pihak yang menjalankan tugas pembangunan. Dengan demikian,
kelompok elite lokal dapat tetap bekerja sama sesuai dengan tugas, tanggung
jawab, dan kemampuan masing-masing. Jaringan interaksi dan pengaruh mereka pun
masih tetap dirasakan oleh masyarakat.
Selain itu, dalam kehidupan masyarakat pedesaan, perlu juga dikembangkan
organisasi-organisasi pertanian. Norman Uphoff berpendapat bahwa partisipasi
masyarakat dalam pembangunan pedesaan perlu diutamakan, terutama mereka yang
tergabung dalam organisasi-organisasi masyarakat.[2]
Di daerah pedesaan di Kabupaten Jombang, organisasi-organisasi masyarakat
terutama di sektor pertanian masih sangat minim. Padahal dalam proyek-proyek
yang ada, organisasi pertanian perlu menjadi pelopor dalam menindaklanjuti
proyek yang ada.
Organisasi tersebut dapat berperan sebagai semacam LSM yang berperan
dalam menyampaikan aspirasi masyarakat. Bisa saja, di daerah tersebut didirikan
organisasi/ perkumpulan petani padi ataupun petani/ pengusaha tebu.
Organisasi-organisasi ini mampu memberikan partisipasi yang cukup berarti dalam
proses pengadaan program pembangunan pedesaan. Bahkan, menurut Thayer Scudder,
organisasi masyarakat dapat menuntut pelayanan yang memang dibutuhkan
masyarakat.[3] Organisasi ini
nantinya akan tetap berjalan walaupun proyek PSIP, TRI, PBP telah usai
diadakan. Organisasi ini dapat menjadi semacam sarana aspirasi masyarakat untuk
sampai kepada pemerintah, sehingga ada semacam lingkaran yang kuat antara
pemerintah, elite lokal, dan masyarakat lewat organisasi yang ada.
SUMBER RINGKASAN ARTIKEL
Sofian Effendi,
dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
SUMBER PENDUKUNG PENILAIAN/KRITIK
Scudder, Thayer. 1988. “Suatu
Kerangka Sosiologi untuk Analisis Pemukiman Lahan Baru.” Dalam Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Uphoff, Norman. 1988.
“Menyesuaikan Proyek pada Manusia.” Dalam Mengutamakan
Manusia di dalam Pembanguna. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
[1] Norman Uphoff, “Menyesuaikan
Proyek pada Manusia.” Dalam Mengutamakan
Manusia di dalam Pembangunan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988,
hlm. 489.
[2] Norman Uphoff, “Menyesuaikan
Proyek pada Manusia.” Dalam Mengutamakan
Manusia di dalam Pembangunan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988,
hlm. 486.
[3] Thayer Scudder,
“Suatu Kerangka Sosiologi untuk Analisis Pemukiman Lahan Baru.” Dalam Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1988, hlm. 184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar