Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Senin, 06 Maret 2017

Bangun Desa

PENGARUH DAN JARINGAN INTERAKSI ELITE LOKAL
DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN
DI KABUPATEN JOMBANG, JAWA TIMUR
Oleh: Marianus Ivo Meidinata

POKOK PERMASALAHAN
Pembangunan pedesaan adalah salah satu program pemerintah yang dikerjakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah pedesaan. Usaha pemerintah ini masih belum sepenuhnya terlaksana karena pemerintah belum memanfaatkan semua elite lokal yang ada di daerah pedesaan, yang nyatanya memiliki pengaruh besar pada masyarakat.
Fenomena yang terjadi di daerah pedesaan - Kabupaten Jombang, cukup menjadi bahan menarik dalam program penelitian sosiologi. Hal ini dikarenakan pengaruh figur tokoh agama masih cukup dominan dalam aktivitas keseharian masyarakat. Mereka bukan hanya menjadi teladan dalam tindakan beragama, namun juga menjadi panutan dalam tindakan bermasyarakat. Melalui suatu proses interaksi sosial yang berkesinambungan, mereka menyatu dan membentuk kekuatan yang mampu mengkokohkan status mereka menjadi suatu kelas yang mandiri.
Pada pembahasan ini, penulis mengambil tiga desa di Kabupaten Jombang untuk menjadi sampel dalam penelitian. Penulis juga mengambil tiga proyek pembangunan pedesaan sebagai sampel dari penelitian ini, yaitu Proyek Supra Insus Padi (PSIP), Proyek Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), dan Proyek Bantuan Pedesaan (PBP) sebagai upaya mendorong terciptanya desentralisasi pembangunan pedesan.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas tingkat pengaruh kelompok elite lokal dalam proses perumusan tindakan krusial yang berkaitan dengan implementasi proyek pembangunan di daerah pedesaan. Selain itu, pembahasan juga mengarah pada struktur jaringan interaksi antar kelompok elite lokal dalam mengakomodasi implementasi proyek pembangunan.

PEMBAHASAN
Kelompok elite lokal adalah kelompok kecil yang tergolong disegani, dihormati, dan berkuasa dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Mereka memiliki pengaruh dalam aktivitas perekonomian dan proses pengambilan keputusan desa. Mereka dibedakan dalam tiga golongan elite lokal yaitu pamong desa, para tokoh agama, dan para petani kaya.
Ada dua isu krusial, yang cukup tepat digunakan sebagai sarana penelitian pengaruh kelompok elite lokal di pedesaan. Pertama, terlihat dalam proses pemilihan ketua kelompok petani PSIP maupun TRI. Jabatan sebagai ketua memang tidak terkesan menjadi hal yang hebat dalam dua organisasi ini. Namun masyarakat cukup berhati-hati dalam menentukan pilihan. Ketua PSIP dan TRI adalah seorang yang nantinya akan cukup sering berhubungan dengan KUD maupun pemerintah setempat. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa masyarakat perlu menentukan ketua yang cukup mudah berbagi informasi maupun bahan-bahan yang diperoleh dari KUD maupun pemerintah.
Isu kedua adalah isu perencanaan Proyek Bantuan Pedesaan. Masyarakat juga cukup serius dalam menentukan lokasi dan jenis proyek yang akan dilaksanakan. Kecermatan dalam memilih sangat diperlukan karena jenis proyek ini berkaitan dengan kebijaksanaan lain yang menyangkut kepentingan masyarakat umum, seperti pengadaan dana swadaya dan penyaluran tenaga kerja. Pemerintah bertugas memberikan dana bantuan kepada masyarakat, dan pembagian dana tersebut menjadi tanggung jawab wakil dari masyarakat setempat.
Pemilihan pengurus kelompok di atas, idealnya dilakukan secara demokrasi yaitu dengan mengumpulkan perwakilan masyarakat terutama para petani yang terlibat dalam kelompok itu. Namun pada kenyataannya, peneliti menemukan hasil yang sangat berlawanan. Ternyata kepala desa dengan sejumlah pihak telah melakukan diskusi kecil, sebelum rapat resmi diselenggarakan. Mereka membahas siapa yang layak menyandang jabatan sebagai ketua dan strategi apa yang akan dilakukan untuk memenangkannya. Pada akhirnya, calon yang telah mereka pilih menjadi calon terkuat dalam proses pemilihan. Calon ketua yang dipilih harus mampu mengendalikan aktifitas proyek pembangunan dan bisa bekerja sama dengan pamong desa.
Penemuan ini memperlihatkan bahwa pamong desa memiliki peranan yang sangat dominan. Mereka menjadi penentu arah dari hampir semua tindakan yang dirumuskan. Sementara itu, kelompok elite pemuka agama tidak terlalu dominan dalam isu-isu di atas, tidak sepadan dengan peranan mereka dalam kehidupan sehari-hari yang cukup menonjol. Kecenderungan semacam ini juga menimpa kelompok elite petani kaya, meskipun tidak seburuk pemuka agama. Mereka tidak terlalu berperan dalam proses pembangunan desa karena mereka dianggap sebagai petani biasa yang sejajar dengan petani yang lain. Padahal pada kenyataannya, keberadaan mereka cukup berpengaruh bagi para petani yang lain.
Walaupun interaksi yang terjadi masih begitu minimalis, mereka tetap menjalin interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pamong desa sebagai kelompok yang dominan memiliki tempat yang dekat dengan pusat jaringan. Kelompok pamong desa lebih leluasa dalam mengembangkan kiprah yang berkaitan dengan implementasi proyek pembangunan. Sedangkan kelompok pemuka agama dan petani kaya hanya berada di pinggiran dari sistem jaringan yang ada, seakan peranannya tidak diperhitungkan dalam proses pembangunan pedesaan. Status mereka sebagai kelompok informal berada jauh dari lingkaran pusat pembangunan pedesaan.
Lalu, mengapa kelompok elite informal tersebut menjadi kelompok yang tidak terlalu berpengaruh bagi pembangunan desa? Hal ini dapat terlihat dalam program-program yang dicanangkan di daerah tersebut. Misalnya saja Proyek Supra Insus Padi (PSIP). Dalam proyek ini, pamong desa mengambil peranan yang dominan. Pamong desa menjadi jembatan perantara antara pemerintah pusat (dalam hal ini adalah kecamatan) dengan petani desa. Akibatnya, pamong desa menjadi pihak yang mengetahui informasi terlebih dahulu dibanding kelompok yang lain, sehingga mereka dipandang lebih mampu menyalurkan ide baru seputar pertanian. Begitu pula dalam Proyek Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan Proyek Bantuan Pedesaan (PBP), pamong desa menjadi penentu kebijakkan yang akan diambil. Bahkan kepentingan dan kehendak pamong desa seakan menjadi patokan bagi keputusan desa.
Jika hal seperti ini tetap dipertahankan, tentu akan menimbulkan banyak konflik. Dalam kehidupan masyarakat desa yang terbuka, tuntutan dan kemauan masyarakat akan semakin kompleks. Pengetahuan masyarakat pun akan semakin berkembang sehingga kesadaran akan realitas kesejahteraan masyarakat semakin mereka sadari. Karena itu, akan menjadi beban yang berat jika pemecahan setiap masalah hanya ditanggung oleh pamong desa.
Pamong desa perlu lebih giat bekerja sama dengan pemuka agama dan petani kaya dalam proses pembangunan desa. Dengan kerja sama antar ketiga kelompok elite lokal tersebut, pembangunan desa akan berjalan lebih lancar dan tertata rapi. Dengan demikian, kesejahteraan rakyat akan lebih mudah terwujud di dalam pembangunan pedesaan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

KESIMPULAN
Pembangunan pedesaan di Kabupaten Jombang Jawa Timur, masih didominasi oleh para pamong desa. Padahal pengaruh para pemuka agama dan petani kaya di daerah tersebut masih cukup dominan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, perlu adanya perubaha sikap dalam proses pembangunan pedesaan di daerah tersebut yaitu dengan meningkatkan proses kerja sama antar ketiga kelompok elite lokal supaya pembangunan pedesaan dapat berjalan demi kesejahteraan bersama.

PENILAIAN/ KRITIK
Saya mendukung artikel yang telah ditulis oleh Sunyoto Usman, yang telah saya ringkas di atas. Kelompok elite lokal yang ada di daerah pedesaan perlu memiliki kadar peranan yang sama dalam proses pembangunan pedesaan. Mereka memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tidak ada salahnya jika pembangunan pedesaan memanfaatkan ‘sumber daya manusia’ yang ada (dalam hal ini adalah para elite lokal). Para elite lokal dengan segala kemampuan dan kelebihan, perlu dimanfaatkan secara maksimal terutama dalam bentuk kerja sama/ interaksi yang seimbang. Dengan demikian, menurut saya, tujuan pembangunan desa akan terlaksana jika menggunakan pihak-pihak yang cukup berpengaruh di lingkungan masyarakat pedesaan[1].
Namun saya berpendapat bahwa lebih baik para tokoh agama berperan sebagai pihak penasehat dan pemantau para pamong desa dan para petani kaya dalam bekerja. Bagi saya, walaupun para tokoh agama cukup berpengaruh pada tindak dan pemikiran masyarakat, namun mereka sebaiknya tidak terlalu ikut campur pada urusan ‘politik’. Pengaruh yang mereka miliki lebih baik disalurkan dengan mendukung program yang ada, sembari memberi nasehat dan dukungan moral bagi masyarakat dan pihak yang menjalankan tugas pembangunan. Dengan demikian, kelompok elite lokal dapat tetap bekerja sama sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan kemampuan masing-masing. Jaringan interaksi dan pengaruh mereka pun masih tetap dirasakan oleh masyarakat.
Selain itu, dalam kehidupan masyarakat pedesaan, perlu juga dikembangkan organisasi-organisasi pertanian. Norman Uphoff berpendapat bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan perlu diutamakan, terutama mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi masyarakat.[2] Di daerah pedesaan di Kabupaten Jombang, organisasi-organisasi masyarakat terutama di sektor pertanian masih sangat minim. Padahal dalam proyek-proyek yang ada, organisasi pertanian perlu menjadi pelopor dalam menindaklanjuti proyek yang ada.
Organisasi tersebut dapat berperan sebagai semacam LSM yang berperan dalam menyampaikan aspirasi masyarakat. Bisa saja, di daerah tersebut didirikan organisasi/ perkumpulan petani padi ataupun petani/ pengusaha tebu. Organisasi-organisasi ini mampu memberikan partisipasi yang cukup berarti dalam proses pengadaan program pembangunan pedesaan. Bahkan, menurut Thayer Scudder, organisasi masyarakat dapat menuntut pelayanan yang memang dibutuhkan masyarakat.[3] Organisasi ini nantinya akan tetap berjalan walaupun proyek PSIP, TRI, PBP telah usai diadakan. Organisasi ini dapat menjadi semacam sarana aspirasi masyarakat untuk sampai kepada pemerintah, sehingga ada semacam lingkaran yang kuat antara pemerintah, elite lokal, dan masyarakat lewat organisasi yang ada.

SUMBER RINGKASAN ARTIKEL
Sofian Effendi, dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

SUMBER PENDUKUNG PENILAIAN/KRITIK
Scudder, Thayer. 1988. “Suatu Kerangka Sosiologi untuk Analisis Pemukiman Lahan Baru.” Dalam Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Uphoff, Norman. 1988. “Menyesuaikan Proyek pada Manusia.” Dalam Mengutamakan Manusia di dalam Pembanguna. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.




[1] Norman Uphoff, “Menyesuaikan Proyek pada Manusia.” Dalam Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988, hlm. 489.
[2] Norman Uphoff, “Menyesuaikan Proyek pada Manusia.” Dalam Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988, hlm. 486.
[3] Thayer Scudder, “Suatu Kerangka Sosiologi untuk Analisis Pemukiman Lahan Baru.” Dalam Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988, hlm. 184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar