Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Jumat, 11 September 2015

Paper : Mencapai Puncak Kebahagiaan Karmelit



Mendaki Puncak Kebahagiaan Karmelit
Jalan Karmelit Mencapai Puncak Kebahagiaan dalam Hidup Panggilannya
Oleh : Fr. Marianus Ivo Meidinata, O. Carm.

Tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang tidak mendambakan kebahagiaan. Manusia akan selalu mencari cara untuk mencapai kebahagiaan itu. Begitu pula dengan Karmelit, dalam proses mencari kebahagiaan mereka harus mengikuti panggilan hidupnya.  Panggilan hidup di Ordo Karmel itulah yang akan menuntun mereka mencapai puncak kebahagiaan  yang  khas sebagai Karmelit.

Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah tujuan hidup setiap manusia. Tanpa sadar, manusia akan selalu mencari kebahagiaan. Menurut Boethius, kebahagiaan adalah suatu kondisi yang menjadi sempurna karena hadirnya segala sesuatu yang baik. Pendapat ini dapat diartikan bahwa kebahagiaan berhubungan erat dengan kebaikan.
Kebahagiaan merupakan ‘hasil sebuah aktivitas’. Kebahagiaan dapat diraih jika manusia menjalani kehidupan yang menunjangnya. Ini diartikan bahwa manusia perlu berusaha mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan akan datang dengan sendirinya jika manusia mau mengusahakan dengan melakukan hal-hal yang baik.
Manusia perlu berhati-hati dengan prinsip “Aku menikmati maka aku ada”. Prinsip ini telah membawa manusia pada kebahagiaan yang dangkal. Manusia telah berpikir bahwa uang, kesohoran, kekuasaan dan status hidup adalah tempat kebahagiaan itu berada. Dan inilah yang kini telah meracuni pikiran manusia bahwa kebahagiaan dapat dinikmati asal keempat hal tersebut dimiliki.
Menurut Sokrates untuk mencapai kebahagiaan manusia perlu menumbuhkembangkan jiwa dan menjadikannya lebih baik. Langkah awal yang perlu dilalui adalah memiliki pengetahuan akan yang baik dan melaksanakannya. Setelah itu manusia perlu turut serta menata kehidupan bersama di lingkungannya, sehingga dia mampu menghantar orang lain pada kebahagiaan. Kebahagiaan yang dirasakan diri sendiri dan orang lain akan menyempurnakan kebahagiaan jiwa manusia itu sendiri.
Lain lagi dengan pandangan St. Thomas Aquinas. Dia menegaskan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada proses aktualisasi diri atau pengembangan diri, melainkan melampauinya, yaitu ketika manusia memandang Allah, sumber segala kebahagiaan. Manusia perlu memandang Allah sebagai sumber kebahagiaan sehingga segala aktivitasnya perlu terarah pada Allah.
Kebahagiaan merupakan aktivitas, sekaliguas keadaan yang dihasilkannya. Manusia yang telah merasakan kebahagiaan telah mencapai puncak hidup  yaitu hidup dalam persatuan dengan Allah, sumber kebahagiaan. Dengan kebahagiaan inilah manusia akan mampu memancarkan kebahagiaan dari dalam dirinya kepada sesama.

Karmelit
Karmelit adalah sebutan bagi para anggota Ordo Karmel, kelompok/ ordo religius dalam Gereja Katolik. Mereka adalah manusia biasa yang tertarik untuk mengabdikan diri pada Allah dan Gereja melalui jalan yang berbeda dengan manusia yang lain. Sebagai kelompok, karmelit memiliki dua aturan hidup yang biasa disebut regula dan kontitusi.
Dalam Regula Ordo Karmel nomor 2 tertulis tujuan hidup Karmelit, yaitu ‘hidup taat kepada Yesus Kristus dan setia mengabdiNya dengan hati murni dan hati nurani yang baik’. Dapat dikatakan pula, tujuan hidup tersebut merupakan dasar hidup Karmelit dan para anggota kelompok religius yang lain.
Secara umum kaum religius menghayati hidup ‘mengikuti Yesus Kristus’ dengan menghidupi 3 nasehat Injil yaitu ketaatan, kemurnian dan kemiskinan. Namun setiap kelompok religius memiliki ciri khas yang berbeda dengan yang lain. Ciri khas yang dimiliki oleh para Karmelit terletak pada kharisma hidup mereka. Ada 3 kharisma yang ditekankan pada Ordo Karmel yaitu hidup doa, persaudaraan dan pelayanan. Kharisma inilah yang membedakan Karmelit dengan kelompok religius yang lain.
Ada banyak kelompok dan cara hidup yang digunakan untuk mengikuti Yesus Kristus. Kharisma hidup yang dimiliki para Karmelit ini adalah cara mereka untuk mengikuti Yesus Kristus. Karmelit mengambil ketiga cara ini untuk memudahkan anggota untuk lebih konkret melaksanakan tujuan mereka.
Hidup doa adalah cara hidup yang ditekankan sejak awal terbentuknya kelompok Karmelit. Hidup doa dijadikan sebagai faktor penting dalam mempersatukan nilai-nilai hidup yang lain. Cara hidup ini digunakan pula sebagai perekat hubungan Karmelit dengan Yesus Kristus yang mereka abdi. Hidup doa akan memunculkan kasih setia yang lebih sempurna kepada sesama. Proses inilah yang akan mengarahkan Karmelit kepada persatuan dengan Allah dan kemurnian hati untuk bersaudara dan melayani sesama.
Persaudaraan adalah sikap hidup kedua yang ditekankan oleh para Karmelit. Persaudaraan ini sebagai perpanjangan dari hidup doa. Para Karmelit yang mampu menghidupi  hidup doa dengan serius akan mampu melihat Allah dalam diri sesama. Menjadi saudara berarti tumbuh dalam persatuan dan dalam kebersamaan. Selain itu menjadi saudara juga berarti saling peduli atas kebahagiaan rohani dan psikologi sesama.
Sebagai kelompok pendoa yang bersaudara, para Karmelit juga perlu memberi pelayanan di luar kelompoknya. Pelayanan ini menunjukkan  bahwa Ordo Karmel bukan kelompok yang tertutup. Namun Karmelit ingin menunjukkan hasil doa dan persaudaraan dalam pelayanan. Hal ini juga dimaksudkan untuk membagikan kebiasaan berdoa dan bersaudara secara lebih luas. Para Karmelit menyadari bahwa Yesus Kristus yang mereka abdi ada dalam diri mereka, sehingga para Karmelit merasa perlu untuk melayani.

Jalan Mendaki Puncak Kebahagiaan Karmelit
Dalam hidup para Karmelit,  kebahagiaan adalah tujuan hidup mereka bergabung dengan Ordo Karmel. Mereka merasa bahwa Ordo Karmel adalah tempat yang cocok bagi mereka. Karena itulah, mereka merasa bahwa kebahagiaan akan tercapai di Ordo Karmel. Tujuan hidup ‘mencapai kebahagiaan’ adalah tujuan hidup yang umum didambakan oleh semua manusia.
Namun dalam perjalanan hidup, mereka mengalami biasnya jalan yang mereka lewati. Kebahagiaan yang mereka dambakan mulai memiliki arti melenceng. Kebahagiaan mulai diartikan sebagai sesuatu yang dapat dinikmati dengan uang, kesohoran, kekuasaan dan status hidup. Melencengnya arti dari kebahagiaan diakibatkan situasi hidup mereka, yang mau tidak mau ketika mereka berada di Ordo Karmel, keempat hal tersebut akan semakin mudah didapat. Jika mereka tidak mampu mengolah dan menahan diri untuk menikmati kebahagiaan semu tersebut, mereka akan tetap berada pada jalan yang salah.
Walaupun demikian, tetap ada Karmelit yang ingin kembali kepada kebahagiaan yang sesungguhnya. Mereka sadar akan kebahagiaan semu yang mereka miliki. Mereka merasa bahwa kebahagiaan itu akhirnya menimbulkan kejenuhan dan tidak ada yang mampu menciptakan rasa lega. Namun pada kenyataannya banyak dari mereka yang tidak mengetahui jalan kembali dan jalan untuk meraih kebahagiaan yang sejati itu.
Tidak jarang kesibukan dan usia panggilan yang semakin bertambah membuat para Karmelit lupa akan pegangan hidup panggilan mereka. Banyak dari mereka merasa bahwa setelah resmi menjadi Karmelit, mereka akan tetap selalu berada di Ordo Karmel. Hal inilah yang juga membuat mereka melupakan pegangan hidup mereka yaitu Regula dan Konstitusi. Padahal jalan kembali untuk meraih kebahagiaan sejati itu ada di dalamnya.
Jalan menuju kebahagiaan para Karmelit adalah mengikuti Yesus Kristus. Dalam Ordo Karmel cara mengikuti Yesus Kristus adalah dengan menghidupi kharisma ordo yaitu dalam doa, persaudaraan dan pelayanan. Cukup dengan menghidupi kharisma ini, para Karmelit akan mampu mencapai kebahagiaan yang didambakan. Sebab kebahagiaan akan mampu dicapai ketika manusia mampu mengusahakan dalam kebaikan.
Ada lagi model kedua, Karmelit yang tidak mampu mencapai kebahagiaannya. Mereka mengetahui cara mencapai kebahagiaan panggilan dalam Karmel, namun mereka tidak mau menghidupinya karena berbagai alasan. Ini juga tidak akan banyak membantu mereka mencapai tujuan kebahagiaan. Menurut Sokrates mereka masih bergerak setengah langkah saja, sebab langkah akan disebut penuh jika manusia memiliki pengetahuan akan yang baik dan mampu melaksanakannya.
Perlu diketahui sekali lagi bahwa para Karmelit mampu mencapai kebahagiaan sebagai Karmelit jika mereka mampu menghidupi kharisma Karmel. Jika Karmelit  melakukan kebaikan di luar kharisma ordo, mereka tetap akan merasakan kebahagiaan. Namun itu bukanlah puncak kebahagiaan Karmelit karena kebahagiaan yang sungguh Karmel terletak dalam kharisma ordo. Kharisma Ordo Karmel dikatakan sudah cukup membantu karena kebahagiaan yang sempurna dicapai ketika manusia mampu turut serta menata lingkungan sekitarnya. Kebahagiaan akan sempurna ketika dinikmati oleh diri sendiri dan orang lain. Pengertian inilah yang terkandung dalam hidup doa, persaudaraan dan pelayanan.
Ordo Karmel sebagai kelompok religius dalam Gereja Katolik, turut menempatkan Allah dalam kebahagiaannya. Seperti yang dikatakan St. Thomas Aquinas, Karmelit pun menempatkan Allah sebagai puncak dan tujuan kebahagiaan. Hal ini terlihat pada kharisma  ordo yang menekankan hidup doa. Penekanan hidup doa ini dimaksudkan supaya dalam hidup persaudaraan dan  pelayanan yang dilakukan semata-mata hanya untuk Allah, pusat dari kebahagiaan itu.
Para Karmelit menghidupi doa sebagai dasar relasi dengan Allah dan sesama. Relasi dengan Allah mampu diwujudnyatakan ketika Karmelit mampu melihat Allah dalam diri sesamanya. Inilah model persaudaraan yang muncul dari kasih yang tulus. Kasih inilah yang menggerakkan Karmelit menghidupi hidup pelayanan mereka. Pelayanan yang bukan untuk popularitas diri yang nantinya akan menjerumuskan pada kenikmatan/ kebahagiaan semu. Tetapi pelayanan bagi Allah, Sang sumber kebahagiaan yang berada dalam diri sesama.

Penutup
Sebagai manusia biasa, Karmelit mendambakan kebahagiaan dalam hidup mereka. Mereka merasa bahagia ketika terpanggil mengikuti Yesus Kristus dalam Ordo Karmel. Jalan yang dapat ditempuh oleh para Karmelit untuk mencapai puncak kebahagiaan itu adalah dengan menghidupi kharisma Ordo Karmel (doa, pelayanan dan persaudaraan). Kharisma ordo akan membawa Karmelit merasakan kebahagiaan bersama sesama dalam persatuan dengan Allah, sumber kebahagiaan sejati. Itulah puncak kebahagiaan sejati para Karmelit dalam mengikuti panggilannya.


DAFTAR PUSTAKA
Pandor, Pius. 2014. Seni Merawat Jiwa. Jakarta: Obor.
Institut Karmel Indonesia. 2006. Konstitusi Ordo Saudara-saudara Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel. Malang: Karmelindo.

Cerpen



Tuhan yang Berkarya
Oleh: Marianus Ivo Meidinata, O.Carm (15007)

Pagi ini, jam weker berdering begitu keras sehingga membangunkanku dari lamunan mimpi-mimpiku. Mimpiku kali ini tidak seperti biasanya yang penuh dengan suka, tawa ataupun rasa sakit yang wajar. Namun mimpi kali ini sungguh membuatku takut dan gelisah. Aku sudah terbangun dari alam kapuk nan lembut, namun rasa ini masih menusuk hatiku sampai kedalaman yang tidak terhingga.
Ibuku telah tiada. Dia telah dipanggil oleh Allah dari dunia ini. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan mimpi itu. Apalagi malam sebelum aku tidur, kami sempat bertengkar, beradu argumen dan pemikiran masing-masing. Pertengkaran adalah suatu hal yang tidak pernah kami lakukan dan baru tadi malam kami melakukannya.
Ibu melarangku menjadi pastor. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, padahal ini adalah cita-citaku. Aku yang adalah seorang yang perasa ini merasa begitu terbebani akan kenyataan ini. Rasa bingung menghantui aku. Apakah aku harus memilih ibu atau panggilanku?
Aku berpisah dengan ibuku sejak umur 2 tahun. Dia memilih menjadi TKI di Brunei untuk mencukupi kebutuhan keluargaku. Baru 2 bulan lalu ibu pulang ke Indonesia dan tidak akan pernah lagi kembali ke Brunei.
Kini aku sudah berada di ujung tanduk masa SMP. Aku memilih seminari sebagai sekolah lanjutanku. Namun pilihan ini harus beradu dengan kenyataan bahwa kini yang akan meninggalkan ibu adalah aku. Setelah sekian lama aku merindukan hidup bersamanya, ternyata aku malah yang harus meninggalkan kerinduan itu. Ibu pun merindukan tinggal dekat denganku. Namun hatiku lebih nyaman ketika aku memandang seminari di dunia lamunanku. Aku mampu berpisah dengan ibuku, namun dia tidak sanggup menerima kenyataan itu.
***
Malam kemarin adalah waktu berharga untuk membujuk ibu supaya menyetujui keinginanku untuk masuk seminari.
“Bu, bolehkah aku berbicara sebentar?”, tanyaku.
“Boleh kok. Emang apa yang ingin kamu omongkan?”, sahut ibu.
“Bu, aku ingin masuk seminari. Aku ingin menjadi pastor, sesuai dengan cita-cita sejak masa kecilku. Bolehkah aku melaksanakannya?”.
Ibu terdiam dan setelah beberapa menit dia pun menjawab, “ Ibu bisa mengerti apa yang kamu rasakan. Namun ingatlah bahwa kamu itu anak terakhir yang harus mengurus bapak dan ibu di kemudian hari. Kamu harus tetap tinggal di rumah ini dan rumah ini adalah milikmu. Ini bukan berasal dari egoisme ibu, tetapi ini adalah kebiasaan yang selalu dilakukan kebanyakan orang. Bisa mengertikan kamu?!” Demikian jawaban ibu sesuai dengan latar belakang Jawa pedesaannya.
“Tetapi aku ingin menjadi pastor bu.” Sahutku dengan nada yang mulai naik. “ Ibu tidak pernah merasakan hatiku. Dari dulu aku sudah ngomong tentang cita-citaku ini. Tetapi jawaban ibu selalu demikian. Aku muak bu. Ini sudah ke sekian kali ibu menolak merestuiku.”
“Tetapi kamu anak terakhir dan ibu sayang kamu”, sahutnya.
“Sudah bu. Aku sudah besar dan tahu apa yang baik bagiku.”
Aku yang seorang tempramen ini melempar segelas teh hangat ke atas meja yang memisahkan kami. Aku pergi sambil berlinang air mata. Begitupun ibu, duduk termenung sambil menahan air mata yang ternyata tidak sanggup disembunyikannya. Dengan berat aku melangkah meninggalkan ibu yang menangis. Namun aku pun tidak mampu menahan rasa jengkel yang telah meledak ini. Aku masuk ke dalam kamar, merebahkan diri dan tertidur sampai akhirnya aku bermimpi hal yang mengejutkanku tadi pagi.
***
Malam ini aku telah melupakan mimpi yang mengejutkanku tadi pagi. Sebagai seorang sanguinis berbalut melankolis, hal-hal yang membuatku cepat bereaksi-merasakan dalam hati, dapat terkalahkan oleh sifatku yang cepat merubah mood. Seperti biasa, aku senang menonton televisi. Sejenak aku ingin meninggalkan kenyamananku ini dan menuju toilet untuk sekedar membuang air yang telah menekan perutku 5 menit yang lalu. Setelah terkuras aku pun kembali ke tahta kerajaanku yaitu sofa yang selalu menemaniku menonton televisi.
Sambil bernyanyi-nyanyi aku tidak sengaja melewati kamar ibuku. Terdengar sayup-sayup ibuku berdoa, “ Tuhan Engkau tahu bahwa aku tidak rela jika Mario menjadi seorang pastor. Engkau pun tahu seberapa besar cintaku padanya. Aku mohon dengan segala rendah hati, bimbinglah Mario untuk mampu memilih jalan hidup yang lain, di luar menjadi pastor. Sudilah Engkau memanggilnya di jalan suci yang lain. Aku tidak mampu jauh darinya setelah sekian lama aku meninggalkannya untuk bekerja di Brunei. Aku mohon ya Tuhan.” Sambil menangis dia berlutut di bawah salib yang tergantung di dinding yang telah kusam karena usia.
Aku muak akan semua ini. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan: jengkel, sedih, marah, bingung, ataupun perasaan yang lain. Kumatikan televisi lalu kubawa majalah ‘Aneka Yes’ ke dalam kamarku. Aku ingin membuang semua perasaan yang menyelinap di dalam tubuhku dengan membaca.
Kubaca semua bacaan yang menarik dan sampailah aku pada ramalan bintang minggu ini. “Minggu ini hidupmu akan terasa sulit. Jangan salah pilih karena hasilnya bisa fatal. Asmara sedang rumit begitu juga dengan keuangan. Masalah besar akan datang dan sekali lagi jangan salah pilih.” Dengan isi ramalan yang seperti ini aku mulai gelisah. Namun pikiran ini kulawan dengan logika yang selalu terngiang dalam benakku, “Halah ini hanya ramalan. Nasib hidup seseorang yang tahu hanya Tuhan”. Aku pun tidur dalam pelukan selimut hangatku.
Baru sejenak aku memejamkan mata. Terdengar teriakan ibu yang berasal dari arah dapur. Aku berlari dan mendapatinya tergeletak di lantai dengan kondisi kepala bersimbah darah. Aku berteriak memanggil bapak namun tidak ada jawaban. Dengan bingung aku membopong ibu dan membawanya ke rumah sakit yang kebetulan hanya berjarak 200 meter dari rumahku. Para tetangga yang melihat bergegas menolongku. Bapak yang ternyata ada bersama mereka berlari dan menolong. Mukanya langsung terlihat lemas dan pucat karena rasa bingung dan takut.
Tanganku bersimbah darah. Para medis terlihat kebingungan karena selama 20 menit ibu tidak kunjung memberi respon yang melegakan. Aku mulai menangis dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku berlari meninggalkan ibu dan semua orang yang turut menenangkanku. Kakiku yang terseok-seok tidak mampu membendung pikiranku yang sedari tadi termakan oleh pikiran yang terarah pada mimpiku semalam, serta isi ramalan dan isi doa ibuku. “Bernarkah mimpi itu, ketika aku tetap berpegang pada jalan ini ibu akan meninggal?”, itulah pertanyaan yang menghantui diriku.
Aku sampai di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar ibu. Aku berlutut di tempat ibuku berlutut beberapa jam yang lalu. Aku berdoa kepada Tuhan Yesus yang telah memanggilku menjadi seorang pastor.
“Tuhan Yesus, Engkau telah memanggilku dan aku menjawab. Namun mengapa kenyataannya seperti ini? Engkau memberi aku beban yang begitu berat dan yang tidak mampu aku lalui. Apakah ini tanda dari semua jawabanMu? Aku mau Tuhan menjadi abdiMu di jalan suci ini. Namun langkah awalku begitu berat. Aku sudah tidak mengambil pusing tentang kondisi panggilanku lagi. Kini hanya satu permohonanku, sudilah Engkau menyembuhkan ibuku. Dan jika memang Engkau mengabulkan doa ibuku, aku rela Tuhan meninggalkan impian ini.”
Tidak putus-putus aku memandang wajah Yesus yang tersalib. Sampai akhirnya aku tidak sadar telah hilang dari peredaran dunia nyata. Aku tertidur ditemani oleh dinginnya lantai tempatku berlutut dan darah ibuku yang masih menghiasi tangan dan tubuhku.
***
Pukul 07.00 WIB aku bergegas menuju rumah sakit. Selama 2 Jam aku hanya mampu memandang wajah ibu yang pucat dari balik kaca jendela. Tiba-tiba ibu berusaha membuka mulutnya. Segera aku memanggil dokter. Dokter pun masuk dan memeriksa. Kemudian dokter  memanggilku karena ibu sedari tadi hanya memanggil-manggil namaku. Kupegang dan kucium tangannya yang terasa begitu dingin. Beberapa detik kemudian, ibu membuka matanya.
Kupandang wajah ibu yang terlihat lesu. Air matanya tiba-tiba menetes di pipinya. Kuhapus air mata itu. Terlihat dengan susah, ibu mencoba mengeluarkan suara dari mulutnya.
“Mario, maafkan ibu. Sekarang ibu sadar akan ke-egois-an ibu. Ibu rela kamu masuk seminari. Raihlah cita-citamu.”
Pesan singkat itu membuat dadaku tersesak. Air mataku pun mengalir tidak terbendung. Kupeluk ibuku dengan pelukan yang lembut. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam lamunan panjangnya. Aku hanya mengetahui bahwa Tuhan yang berkarya.


Sabtu, 05 September 2015

Nabi Elia



Nabi Elia – Inspirator Karmelit
Oleh Marianus Ivo Meidinata

Elia adalah inspirator utama Karmelit. Dia adalah seorang nabi kontemplatif dan aktif yang hidup di hadirat Allah. Hidup Elia inilah yang menjaiwai hidup Karmelit.

Hidup Kontemplatif
Hidup doa dan bersemuka dengan Allah dijalani Nabi Elia di Gunung Karmel. Dia hidup dalam kesunyian dan keheningan yang mendalam, untuk merasakan kehadiran dan sapaan Allah. Salah satu sarana yang dipakai Allah untuk menyatakan diri kepada Nabi Elia adalah angin sepoi-sepoi (yang juga dirasakan oleh Nabi Elia).

Karmelit meneladan Nabi Elia dalam kesetiaan pada keheningan dan kesunyian, serta merenungkan hukum Tuhan siang dan malam. Hal ini dimaksudkan supaya Karmelit dapat hidup bersemuka dengan Allah mengikuti jalan hidup Sang Inspirator. Nabi Elia memaknai perjumpaan dengan Allah, dengan membawa firman Allah pada kehidupan nyata, sesuai dengan kebutuhan dan konteks zaman. Demikian pula Karmelit mendengarkan sabda Allah dalam kenyataan hidup sehari-hari dan mengamalkannya sesuai konteks zaman.
Kontemplasi berkaitan dengan kemurnian. Dengan kemurnian, Nabi Elia memiliki hati yang bebas untuk memberikan diri hanya bagi Allah dan menaruh hati untuk memperhatikan Allah dalam diri sesama. Dengan demikian dia sungguh memberikan diri bagi Allah dan sesama.

Aktif di Tengah Dunia
Hidup kontemplatif yang dihayati oleh Nabi Elia diamalkan dalam karya nyata bagi sesama. Dia mengutamakan orang miskin dan tertindas dalam menghayati keaktifannya di tengah dunia. Dia peka pada ketidakadilan serta situasi krisis dan sulit yang terjadi dalam masyarakat. Hidup ini terwujud ketika dia menolong janda di Sarfat, mewartakan sabda Allah kepada raja Ahab karena dia menindas orang miskin dan terlantar, serta melawan nabi-nabi baal.
Nabi Elia - sang inspirator utama Karmelit, sejatinya sungguh menjiwai karya aktif di tengah dunia. Penghayatan Nabi Elia bahwa Allah hadir dalam diri sesama, akhirnya menjadi dasar hidup aktif Karmelit bagi sesama. Dan inilah hasil dari buah kontemplatif yang telah dihidupi, bagai lebah-lebah yang mengumpulkan madu dan akhirnya dibagi-bagikan.

Penutup
Nabi Elia sebagai inspirator Karmelit telah memberikan teladan hidup kontemplatif dan aktif. Seruannya “Zelo zelatus sum pro Domino Deo excercituum” menjadi motto Karmelit dalam mengembankan panggilan di dunia ini. Nabi Elia menyerukan perkataan ini bukan karena dia memfokuskan hidup pada karya nyata (aktif) saja, namun juga dalam kontemplatif yang berkobar-kobar bagi Allah.
Pengangkatan Nabi Elia sebagai inspirator Karmelit adalah sebuah panggilan. Karmelit terpanggil untuk hidup sesuai jiwa Nabi Elia. Panggilan inilah yang mendorong Karmelit senantiasa hidup dalam jiwa Nabi Elia.

Sumber Buku
“Sumber-sumber Karmel” karangan Peter Slattery
“Berkobar-kobar bagi Allah” karangan Benny Phang O. Carm