Tuhan yang Berkarya
Oleh: Marianus Ivo Meidinata, O.Carm (15007)
Pagi ini, jam
weker berdering begitu keras sehingga membangunkanku dari lamunan
mimpi-mimpiku. Mimpiku kali ini tidak seperti biasanya yang penuh dengan suka,
tawa ataupun rasa sakit yang wajar. Namun mimpi kali ini sungguh membuatku
takut dan gelisah. Aku sudah terbangun dari alam kapuk nan lembut, namun rasa
ini masih menusuk hatiku sampai kedalaman yang tidak terhingga.
Ibuku telah
tiada. Dia telah dipanggil oleh Allah dari dunia ini. Bagaimana mungkin aku
bisa melupakan mimpi itu. Apalagi malam sebelum aku tidur, kami sempat
bertengkar, beradu argumen dan pemikiran masing-masing. Pertengkaran adalah
suatu hal yang tidak pernah kami lakukan dan baru tadi malam kami melakukannya.
Ibu melarangku
menjadi pastor. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, padahal ini adalah
cita-citaku. Aku yang adalah seorang yang perasa ini merasa begitu terbebani
akan kenyataan ini. Rasa bingung menghantui aku. Apakah aku harus memilih ibu
atau panggilanku?
Aku berpisah
dengan ibuku sejak umur 2 tahun. Dia memilih menjadi TKI di Brunei untuk
mencukupi kebutuhan keluargaku. Baru 2 bulan lalu ibu pulang ke Indonesia dan
tidak akan pernah lagi kembali ke Brunei.
Kini aku sudah
berada di ujung tanduk masa SMP. Aku memilih seminari sebagai sekolah
lanjutanku. Namun pilihan ini harus beradu dengan kenyataan bahwa kini yang
akan meninggalkan ibu adalah aku. Setelah sekian lama aku merindukan hidup
bersamanya, ternyata aku malah yang harus meninggalkan kerinduan itu. Ibu pun
merindukan tinggal dekat denganku. Namun hatiku lebih nyaman ketika aku
memandang seminari di dunia lamunanku. Aku mampu berpisah dengan ibuku, namun
dia tidak sanggup menerima kenyataan itu.
***
Malam kemarin
adalah waktu berharga untuk membujuk ibu supaya menyetujui keinginanku untuk
masuk seminari.
“Bu, bolehkah
aku berbicara sebentar?”, tanyaku.
“Boleh kok.
Emang apa yang ingin kamu omongkan?”, sahut ibu.
“Bu, aku ingin
masuk seminari. Aku ingin menjadi pastor, sesuai dengan cita-cita sejak masa
kecilku. Bolehkah aku melaksanakannya?”.
Ibu terdiam dan
setelah beberapa menit dia pun menjawab, “ Ibu bisa mengerti apa yang kamu
rasakan. Namun ingatlah bahwa kamu itu anak terakhir yang harus mengurus bapak
dan ibu di kemudian hari. Kamu harus tetap tinggal di rumah ini dan rumah ini
adalah milikmu. Ini bukan berasal dari egoisme ibu, tetapi ini adalah kebiasaan
yang selalu dilakukan kebanyakan orang. Bisa mengertikan kamu?!” Demikian
jawaban ibu sesuai dengan latar belakang Jawa pedesaannya.
“Tetapi aku
ingin menjadi pastor bu.” Sahutku dengan nada yang mulai naik. “ Ibu tidak
pernah merasakan hatiku. Dari dulu aku sudah ngomong tentang cita-citaku ini.
Tetapi jawaban ibu selalu demikian. Aku muak bu. Ini sudah ke sekian kali ibu
menolak merestuiku.”
“Tetapi kamu
anak terakhir dan ibu sayang kamu”, sahutnya.
“Sudah bu. Aku
sudah besar dan tahu apa yang baik bagiku.”
Aku yang seorang
tempramen ini melempar segelas teh hangat ke atas meja yang memisahkan kami.
Aku pergi sambil berlinang air mata. Begitupun ibu, duduk termenung sambil
menahan air mata yang ternyata tidak sanggup disembunyikannya. Dengan berat aku
melangkah meninggalkan ibu yang menangis. Namun aku pun tidak mampu menahan
rasa jengkel yang telah meledak ini. Aku masuk ke dalam kamar, merebahkan diri
dan tertidur sampai akhirnya aku bermimpi hal yang mengejutkanku tadi pagi.
***
Malam ini aku
telah melupakan mimpi yang mengejutkanku tadi pagi. Sebagai seorang sanguinis
berbalut melankolis, hal-hal yang membuatku cepat bereaksi-merasakan dalam
hati, dapat terkalahkan oleh sifatku yang cepat merubah mood. Seperti biasa, aku senang menonton televisi. Sejenak aku
ingin meninggalkan kenyamananku ini dan menuju toilet untuk sekedar membuang
air yang telah menekan perutku 5 menit yang lalu. Setelah terkuras aku pun
kembali ke tahta kerajaanku yaitu sofa yang selalu menemaniku menonton televisi.
Sambil
bernyanyi-nyanyi aku tidak sengaja melewati kamar ibuku. Terdengar sayup-sayup
ibuku berdoa, “ Tuhan Engkau tahu bahwa aku tidak rela jika Mario menjadi
seorang pastor. Engkau pun tahu seberapa besar cintaku padanya. Aku mohon
dengan segala rendah hati, bimbinglah Mario untuk mampu memilih jalan hidup
yang lain, di luar menjadi pastor. Sudilah Engkau memanggilnya di jalan suci
yang lain. Aku tidak mampu jauh darinya setelah sekian lama aku meninggalkannya
untuk bekerja di Brunei. Aku mohon ya Tuhan.” Sambil menangis dia berlutut di
bawah salib yang tergantung di dinding yang telah kusam karena usia.
Aku muak akan
semua ini. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan: jengkel, sedih, marah, bingung,
ataupun perasaan yang lain. Kumatikan televisi lalu kubawa majalah ‘Aneka Yes’
ke dalam kamarku. Aku ingin membuang semua perasaan yang menyelinap di dalam
tubuhku dengan membaca.
Kubaca semua
bacaan yang menarik dan sampailah aku pada ramalan bintang minggu ini. “Minggu
ini hidupmu akan terasa sulit. Jangan salah pilih karena hasilnya bisa fatal.
Asmara sedang rumit begitu juga dengan keuangan. Masalah besar akan datang dan
sekali lagi jangan salah pilih.” Dengan isi ramalan yang seperti ini aku mulai
gelisah. Namun pikiran ini kulawan dengan logika yang selalu terngiang dalam
benakku, “Halah ini hanya ramalan. Nasib hidup seseorang yang tahu hanya
Tuhan”. Aku pun tidur dalam pelukan selimut hangatku.
Baru sejenak aku
memejamkan mata. Terdengar teriakan ibu yang berasal dari arah dapur. Aku
berlari dan mendapatinya tergeletak di lantai dengan kondisi kepala bersimbah
darah. Aku berteriak memanggil bapak namun tidak ada jawaban. Dengan bingung
aku membopong ibu dan membawanya ke rumah sakit yang kebetulan hanya berjarak
200 meter dari rumahku. Para tetangga yang melihat bergegas menolongku. Bapak
yang ternyata ada bersama mereka berlari dan menolong. Mukanya langsung
terlihat lemas dan pucat karena rasa bingung dan takut.
Tanganku
bersimbah darah. Para medis terlihat kebingungan karena selama 20 menit ibu
tidak kunjung memberi respon yang melegakan. Aku mulai menangis dan tidak tahu
harus berbuat apa. Aku berlari meninggalkan ibu dan semua orang yang turut
menenangkanku. Kakiku yang terseok-seok tidak mampu membendung pikiranku yang
sedari tadi termakan oleh pikiran yang terarah pada mimpiku semalam, serta isi
ramalan dan isi doa ibuku. “Bernarkah mimpi itu, ketika aku tetap berpegang
pada jalan ini ibu akan meninggal?”, itulah pertanyaan yang menghantui diriku.
Aku sampai di
rumah dan langsung masuk ke dalam kamar ibu. Aku berlutut di tempat ibuku
berlutut beberapa jam yang lalu. Aku berdoa kepada Tuhan Yesus yang telah
memanggilku menjadi seorang pastor.
“Tuhan Yesus,
Engkau telah memanggilku dan aku menjawab. Namun mengapa kenyataannya seperti
ini? Engkau memberi aku beban yang begitu berat dan yang tidak mampu aku lalui.
Apakah ini tanda dari semua jawabanMu? Aku mau Tuhan menjadi abdiMu di jalan
suci ini. Namun langkah awalku begitu berat. Aku sudah tidak mengambil pusing
tentang kondisi panggilanku lagi. Kini hanya satu permohonanku, sudilah Engkau
menyembuhkan ibuku. Dan jika memang Engkau mengabulkan doa ibuku, aku rela
Tuhan meninggalkan impian ini.”
Tidak
putus-putus aku memandang wajah Yesus yang tersalib. Sampai akhirnya aku tidak
sadar telah hilang dari peredaran dunia nyata. Aku tertidur ditemani oleh
dinginnya lantai tempatku berlutut dan darah ibuku yang masih menghiasi tangan
dan tubuhku.
***
Pukul 07.00 WIB
aku bergegas menuju rumah sakit. Selama 2 Jam aku hanya mampu memandang wajah
ibu yang pucat dari balik kaca jendela. Tiba-tiba ibu berusaha membuka
mulutnya. Segera aku memanggil dokter. Dokter pun masuk dan memeriksa. Kemudian
dokter memanggilku karena ibu sedari
tadi hanya memanggil-manggil namaku. Kupegang dan kucium tangannya yang terasa
begitu dingin. Beberapa detik kemudian, ibu membuka matanya.
Kupandang wajah
ibu yang terlihat lesu. Air matanya tiba-tiba menetes di pipinya. Kuhapus air
mata itu. Terlihat dengan susah, ibu mencoba mengeluarkan suara dari mulutnya.
“Mario, maafkan
ibu. Sekarang ibu sadar akan ke-egois-an ibu. Ibu rela kamu masuk seminari. Raihlah
cita-citamu.”
Pesan singkat
itu membuat dadaku tersesak. Air mataku pun mengalir tidak terbendung. Kupeluk
ibuku dengan pelukan yang lembut. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam
lamunan panjangnya. Aku hanya mengetahui bahwa Tuhan yang berkarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar