Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Jumat, 11 September 2015

Cerpen



Tuhan yang Berkarya
Oleh: Marianus Ivo Meidinata, O.Carm (15007)

Pagi ini, jam weker berdering begitu keras sehingga membangunkanku dari lamunan mimpi-mimpiku. Mimpiku kali ini tidak seperti biasanya yang penuh dengan suka, tawa ataupun rasa sakit yang wajar. Namun mimpi kali ini sungguh membuatku takut dan gelisah. Aku sudah terbangun dari alam kapuk nan lembut, namun rasa ini masih menusuk hatiku sampai kedalaman yang tidak terhingga.
Ibuku telah tiada. Dia telah dipanggil oleh Allah dari dunia ini. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan mimpi itu. Apalagi malam sebelum aku tidur, kami sempat bertengkar, beradu argumen dan pemikiran masing-masing. Pertengkaran adalah suatu hal yang tidak pernah kami lakukan dan baru tadi malam kami melakukannya.
Ibu melarangku menjadi pastor. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, padahal ini adalah cita-citaku. Aku yang adalah seorang yang perasa ini merasa begitu terbebani akan kenyataan ini. Rasa bingung menghantui aku. Apakah aku harus memilih ibu atau panggilanku?
Aku berpisah dengan ibuku sejak umur 2 tahun. Dia memilih menjadi TKI di Brunei untuk mencukupi kebutuhan keluargaku. Baru 2 bulan lalu ibu pulang ke Indonesia dan tidak akan pernah lagi kembali ke Brunei.
Kini aku sudah berada di ujung tanduk masa SMP. Aku memilih seminari sebagai sekolah lanjutanku. Namun pilihan ini harus beradu dengan kenyataan bahwa kini yang akan meninggalkan ibu adalah aku. Setelah sekian lama aku merindukan hidup bersamanya, ternyata aku malah yang harus meninggalkan kerinduan itu. Ibu pun merindukan tinggal dekat denganku. Namun hatiku lebih nyaman ketika aku memandang seminari di dunia lamunanku. Aku mampu berpisah dengan ibuku, namun dia tidak sanggup menerima kenyataan itu.
***
Malam kemarin adalah waktu berharga untuk membujuk ibu supaya menyetujui keinginanku untuk masuk seminari.
“Bu, bolehkah aku berbicara sebentar?”, tanyaku.
“Boleh kok. Emang apa yang ingin kamu omongkan?”, sahut ibu.
“Bu, aku ingin masuk seminari. Aku ingin menjadi pastor, sesuai dengan cita-cita sejak masa kecilku. Bolehkah aku melaksanakannya?”.
Ibu terdiam dan setelah beberapa menit dia pun menjawab, “ Ibu bisa mengerti apa yang kamu rasakan. Namun ingatlah bahwa kamu itu anak terakhir yang harus mengurus bapak dan ibu di kemudian hari. Kamu harus tetap tinggal di rumah ini dan rumah ini adalah milikmu. Ini bukan berasal dari egoisme ibu, tetapi ini adalah kebiasaan yang selalu dilakukan kebanyakan orang. Bisa mengertikan kamu?!” Demikian jawaban ibu sesuai dengan latar belakang Jawa pedesaannya.
“Tetapi aku ingin menjadi pastor bu.” Sahutku dengan nada yang mulai naik. “ Ibu tidak pernah merasakan hatiku. Dari dulu aku sudah ngomong tentang cita-citaku ini. Tetapi jawaban ibu selalu demikian. Aku muak bu. Ini sudah ke sekian kali ibu menolak merestuiku.”
“Tetapi kamu anak terakhir dan ibu sayang kamu”, sahutnya.
“Sudah bu. Aku sudah besar dan tahu apa yang baik bagiku.”
Aku yang seorang tempramen ini melempar segelas teh hangat ke atas meja yang memisahkan kami. Aku pergi sambil berlinang air mata. Begitupun ibu, duduk termenung sambil menahan air mata yang ternyata tidak sanggup disembunyikannya. Dengan berat aku melangkah meninggalkan ibu yang menangis. Namun aku pun tidak mampu menahan rasa jengkel yang telah meledak ini. Aku masuk ke dalam kamar, merebahkan diri dan tertidur sampai akhirnya aku bermimpi hal yang mengejutkanku tadi pagi.
***
Malam ini aku telah melupakan mimpi yang mengejutkanku tadi pagi. Sebagai seorang sanguinis berbalut melankolis, hal-hal yang membuatku cepat bereaksi-merasakan dalam hati, dapat terkalahkan oleh sifatku yang cepat merubah mood. Seperti biasa, aku senang menonton televisi. Sejenak aku ingin meninggalkan kenyamananku ini dan menuju toilet untuk sekedar membuang air yang telah menekan perutku 5 menit yang lalu. Setelah terkuras aku pun kembali ke tahta kerajaanku yaitu sofa yang selalu menemaniku menonton televisi.
Sambil bernyanyi-nyanyi aku tidak sengaja melewati kamar ibuku. Terdengar sayup-sayup ibuku berdoa, “ Tuhan Engkau tahu bahwa aku tidak rela jika Mario menjadi seorang pastor. Engkau pun tahu seberapa besar cintaku padanya. Aku mohon dengan segala rendah hati, bimbinglah Mario untuk mampu memilih jalan hidup yang lain, di luar menjadi pastor. Sudilah Engkau memanggilnya di jalan suci yang lain. Aku tidak mampu jauh darinya setelah sekian lama aku meninggalkannya untuk bekerja di Brunei. Aku mohon ya Tuhan.” Sambil menangis dia berlutut di bawah salib yang tergantung di dinding yang telah kusam karena usia.
Aku muak akan semua ini. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan: jengkel, sedih, marah, bingung, ataupun perasaan yang lain. Kumatikan televisi lalu kubawa majalah ‘Aneka Yes’ ke dalam kamarku. Aku ingin membuang semua perasaan yang menyelinap di dalam tubuhku dengan membaca.
Kubaca semua bacaan yang menarik dan sampailah aku pada ramalan bintang minggu ini. “Minggu ini hidupmu akan terasa sulit. Jangan salah pilih karena hasilnya bisa fatal. Asmara sedang rumit begitu juga dengan keuangan. Masalah besar akan datang dan sekali lagi jangan salah pilih.” Dengan isi ramalan yang seperti ini aku mulai gelisah. Namun pikiran ini kulawan dengan logika yang selalu terngiang dalam benakku, “Halah ini hanya ramalan. Nasib hidup seseorang yang tahu hanya Tuhan”. Aku pun tidur dalam pelukan selimut hangatku.
Baru sejenak aku memejamkan mata. Terdengar teriakan ibu yang berasal dari arah dapur. Aku berlari dan mendapatinya tergeletak di lantai dengan kondisi kepala bersimbah darah. Aku berteriak memanggil bapak namun tidak ada jawaban. Dengan bingung aku membopong ibu dan membawanya ke rumah sakit yang kebetulan hanya berjarak 200 meter dari rumahku. Para tetangga yang melihat bergegas menolongku. Bapak yang ternyata ada bersama mereka berlari dan menolong. Mukanya langsung terlihat lemas dan pucat karena rasa bingung dan takut.
Tanganku bersimbah darah. Para medis terlihat kebingungan karena selama 20 menit ibu tidak kunjung memberi respon yang melegakan. Aku mulai menangis dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku berlari meninggalkan ibu dan semua orang yang turut menenangkanku. Kakiku yang terseok-seok tidak mampu membendung pikiranku yang sedari tadi termakan oleh pikiran yang terarah pada mimpiku semalam, serta isi ramalan dan isi doa ibuku. “Bernarkah mimpi itu, ketika aku tetap berpegang pada jalan ini ibu akan meninggal?”, itulah pertanyaan yang menghantui diriku.
Aku sampai di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar ibu. Aku berlutut di tempat ibuku berlutut beberapa jam yang lalu. Aku berdoa kepada Tuhan Yesus yang telah memanggilku menjadi seorang pastor.
“Tuhan Yesus, Engkau telah memanggilku dan aku menjawab. Namun mengapa kenyataannya seperti ini? Engkau memberi aku beban yang begitu berat dan yang tidak mampu aku lalui. Apakah ini tanda dari semua jawabanMu? Aku mau Tuhan menjadi abdiMu di jalan suci ini. Namun langkah awalku begitu berat. Aku sudah tidak mengambil pusing tentang kondisi panggilanku lagi. Kini hanya satu permohonanku, sudilah Engkau menyembuhkan ibuku. Dan jika memang Engkau mengabulkan doa ibuku, aku rela Tuhan meninggalkan impian ini.”
Tidak putus-putus aku memandang wajah Yesus yang tersalib. Sampai akhirnya aku tidak sadar telah hilang dari peredaran dunia nyata. Aku tertidur ditemani oleh dinginnya lantai tempatku berlutut dan darah ibuku yang masih menghiasi tangan dan tubuhku.
***
Pukul 07.00 WIB aku bergegas menuju rumah sakit. Selama 2 Jam aku hanya mampu memandang wajah ibu yang pucat dari balik kaca jendela. Tiba-tiba ibu berusaha membuka mulutnya. Segera aku memanggil dokter. Dokter pun masuk dan memeriksa. Kemudian dokter  memanggilku karena ibu sedari tadi hanya memanggil-manggil namaku. Kupegang dan kucium tangannya yang terasa begitu dingin. Beberapa detik kemudian, ibu membuka matanya.
Kupandang wajah ibu yang terlihat lesu. Air matanya tiba-tiba menetes di pipinya. Kuhapus air mata itu. Terlihat dengan susah, ibu mencoba mengeluarkan suara dari mulutnya.
“Mario, maafkan ibu. Sekarang ibu sadar akan ke-egois-an ibu. Ibu rela kamu masuk seminari. Raihlah cita-citamu.”
Pesan singkat itu membuat dadaku tersesak. Air mataku pun mengalir tidak terbendung. Kupeluk ibuku dengan pelukan yang lembut. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam lamunan panjangnya. Aku hanya mengetahui bahwa Tuhan yang berkarya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar