Komunitas Karmel adalah Komunitas Kasih
Oleh: Marianus Ivo Meidinata
“Hidup
dalam komunitas merupakan penjelmaan kasih tanpa pamrih Allah yang tampak pada
hakikat kharisma dan kenabian hidup bakti Karmel.”
Lih.
Konstitusi Ordo Karmel nomor 30
Komunitas adalah hal yang penting bagi Karmelit.
Sejak di Gunung Karmel, mereka telah membentuk komunitas yang sampai saat ini
masih dipertahankan. Dalam komunitas inilah mereka saling mengasihi sebagai
saudara.
Konstitusi menyebutkan bahwa komunitas akan
mendorong Karmelit untuk mengenal dan mengasihi Allah serta saudara
se-komunitas. Hal ini diteladankan oleh St. Maria yang setia mengasihi Allah
dan sesama. Bahkan St. Theresia Lisieux menyimpulkan begitu indah, “Jika kita
mengasihi Allah, kita juga mengasihi saudara kita. Dan jika kita mengasihi
saudara kita, kita juga mengasihi Allah.” Dari waktu ke waktu, komunitas Karmel
semakin jelas bahwa kehadirannya menjadi sarana mengasihi serta pendorong
Karmelit untuk mengedepankan kasih.
St. Edith Stein mengungkapkan bahwa komunitas
adalah persaudaraan Karmelit. Walaupun ada banyak suka-duka maupun baik-buruk,
semuanya pasti memberikan yang terbaik bagi setiap saudara. Segala sesuatu yang
ada dalam komunitas akan menghantar Karmelit untuk mengasihi saudaranya.
St. Theresia Lisieux memiliki pengalaman yang
hampir sama. Dia mengakui bahwa mengasihi itu tidak mudah. Namun dia bahagia
sebab St. Maria telah memberi teladan mengasihi sesama dengan menanggung
penderitaan sebagai Ibu Kristus. Kasih yang menggerakkan seseorang untuk
berkorban bagi sesama. Begitu juga Karmelit yang karena kasih tergerak untuk berkorban
bagi saudara sekomunitas, dengan menjalankan doa, persaudaraan dan pelayanan.
Komunitas yang dipenuhi dengan doa, persaudaraan dan pelayanan adalah wujud
dari kasih bagi saudara.[1]
Komunitas Berdoa karena Kasih
Hidup doa adalah ciri khas Ordo Karmel. Doa tidak
harus untuk dunia atau karya yang besar, namun doa juga untuk hal yang kecil,
seperti doa bagi saudara dalam komunitas.
Komunitas memberi kejelasan dan kepastian bagi
Karmelit, tentang siapa saudara yang memiliki kedekatan secara fisik. Sebagai
Karmelit, doa bagi saudara se-komunitas adalah panggilan. St. Theresia Lisieux
dan St. Edith Stein memberi teladan bagi Karmelit. Mereka setia berdoa bagi
saudara se-komunitas, baik yang menyenangkan maupun yang menjengkelkan.
Walaupun sulit, mereka tetap berusaha untuk tulus ikhlas berdoa demi kebaikan
bersama. Mereka sadar bahwa kasih yang diwujudkan dalam doa adalah kesucian
dari kasih itu sendiri.
Komunitas Karmel menyediakan waktu khusus untuk
berdoa bersama, sesuai dengan regula Ordo Karmel nomor 11. Doa bersama
mengandung dua makna yaitu doa sebagai panggilan dan doa bersama sebagai pupuk
bagi kebersamaan komunitas. Selain mewakili dan mendoakan dunia, dalam doa
bersama Karmelit juga berdoa bagi komunitas dan mereka saling mendoakan satu
sama lain. Inilah keistimewaan doa bersama dalam komunitas Karmel. Kebersamaan
ini bersumber dari teladan St. Maria dan para murid Gereja perdana, yang
setelah Yesus wafat membangun komunitas. Dalam kebersamaan, mereka sering
bersatu dalam doa untuk saling mendoakan. St. Maria adalah pelopor doa di
antara mereka. Awalnya St. Maria berdoa pribadi dan ketika para murid
mengetahuinya barulah mereka mengikuti.[2]
St. Maria mengetahui bahwa doa dapat menjaga kebersamaan dan menjaga kobaran
kasih di antara mereka sesuai dengan nasehat Yesus untuk saling mengasihi.
Selain doa bersama, komunitas Karmel juga
menekankan doa pribadi dalam bilik masing-masing. Inilah keistimewaan Komunitas
Karmel. Siang-malam Karmelit memiliki waktu untuk berdoa pribadi.[3]
Pada saat inilah Karmelit dapat leluasa berdoa dan saat inilah doa bagi saudara
dapat dipanjatkan. St. Theresia Lisieux dan St. Edith Stein selalu menggunakan
waktu pribadi untuk berdoa bagi saudara se-komunitas. Inilah tindakan
tersembunyi yang berpengaruh besar pada kesatuan komunitas. Tindakan
tersembunyi yang menumbuhkan kasih satu sama lain.
Persaudaraan dalam Kasih
Komunitas
Dalam hidup bersama, Karmelit menuju pada
persatuan yang lebih mendalam untuk saling mengenal dan mengasihi semua
saudara.[4]
Inilah yang terus diusahakan Karmelit dalam hidup berkomunitas. Banyak
tantangan yang terjadi dalam hidup berkomunitas, seperti individualis, perasaan
suka-tidak suka maupun kecenderungan tertutup. Namun hal-hal demikian perlu
dihindarkan, supaya komunitas Karmel tetap sejalan dengan konstitusi nomor 31
di atas.
Bagi Karmelit, hidup bersama adalah keharusan.
Cara hidup ini sudah ditetapkan sejak awal lahirnya Ordo Karmel sehingga cara
hidup ini mendarah daging sampai saat ini. Kenyataan ini memunculkan beberapa
kabiasaan dalam komunitas Karmel. Setiap komunitas perlu memiliki pemimpin.
Pemimpin dalam Ordo Karmel bukanlah seorang yang yang berposisi di atas, namun
tetap sejajar dengan saudara yang lain. Pemimpin hanyalah saudara yang dianggap
tua, yang diserahi tanggung jawab untuk membawa komuitas ke arah yang benar. Adanya
pemimpin komunitas dalam Karmel, terinspirasi oleh St. Maria sang inspirator
Karmel. Dia bukanlah pemimpin yang membawahi para murid. Namun St. Maria adalah
figur yang membawa persatuan dan arah hidup para murid perdana ketika di
Yerusalem dan dialah yang mengarahkan para murid kepada Yesus Kristus. Karena
hal itu, sejak dulu sampai sekarang St. Maria dianggap sebagai hati yang
membawa Gereja kepada persekutuan dan persatuan yang mendalam.[5]
Demikian juga peran seorang pemimpin dalam Karmel, sebagai hati yang menyatukan
dan menghidupkan kebersamaan dalam komunitas. Dalam Karmel, kaul ketaatan
dimulai di komunitas, sebab bagi Karmelit ketaatan pada pimpinan adalah
keharusan. Walaupun pemimpin komunitas bukanlah atasan yang otoriter namun Karmelit
perlu sadar untuk terus taat. Hal ini telah ditulis pada regula nomor 23 yang
menegaskan bahwa saudara-saudara perlu taat pada prior (pemimpin) karena secara
tidak langsung dia dipilih oleh Allah. Karmelit perlu mendasarkan kasih, supaya
dengan ikhlas dan tulus mampu taat. Ketaatan pada pemimpin adalah bentuk kasih
pada komunitas. Karmelit perlu berkaca pada St. Maria, St. Theresia Lisieux dan
St. Edith Stein yang dalam hidupnya setia untuk taat, sebagai wujud kasih
mereka bagi Allah dan sesama.
St. Theresia Lisieux memiliki 3 kebiasaan dalam
menghidupi kebersamaan dalam komuitas. Dalam kehidupan sehari-hari ada
kesibukan yang menyita waktunya, namun sebisa mungkin dia tetap mengikuti
acara-acara bersama seperti doa dan rekreasi. Dia merasa pertemuan itulah yang
mempererat persaudaraan dalam komunitas. Selain itu untuk menjaga agar hidupnya
tidak seenaknya sendiri, dia berusaha untuk selalu menepati aturan yang ada.
Dalam komunitas, ada keinginan untuk hidup sesuka hati, padahal anggota
komunitas tidak satu orang melainkan ada sekian banyak orang. Kebersamaan dalam
komunitas itulah yang butuh adanya peraturan. Karmelit perlu memiliki kesadaran
dan kasih atas komunitas supaya aturan dapat ditepati. Jika kesadaran dan kasih
bagi komunitas tidak ada, hidup hanyalah untuk diri sendiri dan yang pasti
hidup seenaknya sendiri. St. Theresia Lisieux juga memberi teladan sikap yang
ramah dalam hidup berkomunitas. Dia mengungkapkan bahwa kasih yang mampu
menggerakkan sikap ini. Walaupun dia merasa dibenci oleh saudaranya, dia tetap
memberi senyum dan keramahan. Dia menyadari bahwa saudara yang membencinya
tetaplah saudaranya dan jika kasih tertutup hanya karena perasaan benci, apa
gunanya hidup bersama sebagai saudara. Dia berpegang pada Injil Lukas 6: 32,
“Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena
orang-orang berdosa pun mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka.”. Karena
Injil inilah dia memiliki kasih yang utuh kepada semua saudaranya, termasuk
yang membencinya.
Komunitas Kasih: Sekolah Melayani
Pelayanan Karmelit dimulai sejak berada di
komunitas. Komunitas berperan sebagai sekolah hidup bagi Karmelit. Pelayanan
Karmelit dalam komunitas adalah cerminan pelayanannya secara umum. Karmelit
perlu membiasakan diri untuk setia melayani komunitas. Komunitas yang dimanfaatkan
sebagai sekolah melayani, akan membentuk Karmelit yang juga melayani di luar
komunitas.
Dalam konstitusi nomor 33 dituliskan bahwa
komunitas menjadi tempat perpaduan pelayanan. Setiap anggota komunitas dapat
memberi pelayanan sesuai kemampuan sehingga pelayanan yang diberikan akan
dipadukan dengan pelayanan saudara yang lain.
Karmelit dapat mewujudkan kasih bagi komunitas
dengan melayani. Melayani bukanlah hal yang gampang, butuh semangat dan
penyerahan diri untuk dapat melaksanakannya. Apalagi komunitas terdiri dari
beragam anggota, belum tentu pelayanan diterima semua saudara. Hanya kasih yang
mampu mengalahkan perasaan-perasaan yang menghalangi pelayanan. Komunitas akan
hidup jika kasih mulai bertindak. Karmelit yang melayani akan membuat komunitas
lebih hidup. Kasih dalam komunitas akan sungguh nyata, sebab saling melayani
adalah bukti nyata dan bentuk fisik dari kasih. Pelayanan semata-mata adalah
pemberian diri bagi komunitas.[6]
St. Theresia Lisieux adalah contoh yang tepat
dalam melayani. Pelayanan yang dia berikan tidak terlalu besar, cukup yang
kecil dan sederhana. Namun pelayanan kecil itu dia lakukan dengan sepenuh hati
dan sungguh berasal dari kasih. Hampir tidak pernah dia mengeluh atas
pelayanannya. Dia hanya berpikir untuk melayani dan memberi kasih, apa pun hasilnya,
dia tetap melayani. Dia pun taat pada tugas yang diberikan. Biarpun tugas itu
membebani, namun berpegang pada kasih dia mampu melaksanakan tugas bagi
komunitas.
Lain dengan St. Edith Stein. Dia sungguh
memanfaatkan komunitas sebagai sekolah. Di awal hidup berkomunitas tugas
pelayanannya adalah menyapu dan mengepel. Tugas ini cukup sulit baginya sebab
jarang dia melakukan pekerjaan ini sebelumnya. Di komunitaslah dia belajar.
Walaupun ditertawakan dia tetap belajar tanpa ragu. Tugas dan pelayanan yang diberikan
tetap dilaksanakan, kendati sulit. Hanya kasih yang mampu mempertahankan tekad
St. Edith Stein untuk mau belajar melayani di komunitas.
Komunitas Mendukung Perkembangan
Karmelit
Dengan segala aktifitas yang ada, komunitas
membawa Karmelit pada perkembangan hidup. Dan memang demikian salah satu tujuan
komunitas, sebab dalam konstitusi dituliskan bahwa sejak awal berdirinya Ordo
Karmel komunitas dibentuk dan disusun guna mendukung perkembangan Karmelit.[7]
St. Edith Stein juga mengalami perkembangan itu.
Dia berkembang dalam kepribadian. Dulunya dia adalah seorang pendiam yang
selalu murung. Namun karena kehadiran komunitas Karmel, dia berkembang menjadi
pribadi yang periang. Dalam hidup rohani dia merasa dikembangkan oleh
komunitas. Dalam usaha mencari kebenaran, dia merasa kehadiran komunitas
menyempurnakan jawaban yang telah dia terima. Komunitas membawanya semakin
dekat dengan Tuhan Yesus - Sang Kebenaran. Dia sungguh bersyukur atas adanya
komunitas. Bahkan dia bersyukur atas hal-hal buruk dan menyakitkan yang dialami
di komunitas, sebab hal-hal itu banyak menyadarkan dia. Dia bersyukur bahwa hal
buruk dan menyakitkan tidak menjatuhkan dia, namun malah membawanya pada
perkembangan hidup. Komunitas sungguh mendewasakannya. Dalam RIVC (Ratio Institutionis Vitae Carmelitanae)
nomor 37 dituliskan bahwa komunitas adalah tempat kerjasa sama untuk berkembang.
Perkembangan itu dialami oleh semua anggota komunitas, sebab secara tidak
langsung Karmelit saling bekerja sama dan saling mendukung perkembangan dengan
caranya masing-masing.
Lebih dari itu, komunitas membawa Karmelit untuk
semakin dekat dengan Tuhan Yesus. Dengan segala kasih dan pengabdian, Karmelit
dibantu oleh komunitas untuk semakin mengenalNya. Kenyataan ini adalah jiwa St.
Maria, jiwa yang membawa setiap orang untuk semakin dekat dengan Yesus. Dari
hal ini dapat dikatakan bahwa komunitas Karmel adalah komunitas yang berjiwa
Maria, jiwa yang membawa Karmelit untuk semakin dekat dengan Tuhan Yesus.
Segala kasih dan pengabdian dalam komunitas bersumber pada sang inspirator,
bunda dan saudari Karmelit – St. Maria.
Refleksi
Komunitas
merupakan anugerah dari Allah. Dia menganugerahkan komunitas sebagai wadah
perwujudan kasih. Saya bersyukur sebab Karmelit menanggapi positif atas
anugerah ini, sehingga dalam kehidupan, kasih diwujudkan oleh Karmelit dalam
doa, persaudaraan dan pelayanan. Tiga kharisma hidup Karmel yang bersumber dari
kasih, akhirnya memenuhi komunitas Karmel sehingga komunitas Karmel dapat
disebut sebagai komunitas kasih.
Komunitas
merupakan Gereja kecil yang membantu Karmelit untuk bersiap menghadapi realitas
Gereja yang sebenarnya. Komunitas sebagai Gereja kecil perlu dihayati sebagai
lahan untuk menggali pengalaman hidup yang lebih mendalam. Di saat inilah
Karmelit perlu melewati segala suka-duka maupun baik-buruk dengan lapang dan
sepenuh hati, sebab kehidupan di luar komunitas akan lebih berliku dan terjal.
Di sinilah peran komunitas dalam membantu
Karmelit menemukan makna dan refleksi atas hidup, atas kesulitan dan kemudahan,
sehingga nantinya Karmelit tidak terlalu sulit menjalankan
karya dan kehidupan di luar komunitas.
Dan
akhirnya, komunitas adalah mengikuti Yesus. Yesus telah
memanggil dan Karmelit menanggapiNya. Mengikuti Yesus berarti setia dengan
hidup dan segala yang ada dalam komunitas. Ini merupakan
konsekuensi dan isi mengikuti Yesus. Salib kecil Karmelit berada dalam
komunitas. Suka dan duka adalah Salib yang
setiap hari perlu untuk dipanggul. Dan kasih adalah Salib yang perlu
dipersembahkan.
St.
Maria, ibu dan saudari Karmelit tetap ada untuk mendampingi. Dia berperan sebagai hati
yang menghidupkan dan menguatkan Karmelit.
Karmelit perlu untuk tetap setia berjalan bersama St. Maria dalam doa,
persaudaraan dan pelayanan. Mewujudkan kasih kepada saudara se-komunitas adalah
hidup dan panggilan Karmelit, sebab komunitas Karmel adalah komunitas
kasih.
“Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan
perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan...”
1 Yoh 3: 18
Sumber Pustaka
Phang,
Benny, Berkobar-kobar bagi Allah, Malang:
Karmelindo, 2012.
Liagre, Pere. Berpadang Gurun Bersama St. Theresia dari
Kanak-Kanak Yesus. Lembang: Biara Karmel, 1993.
Arborelius, Anders. Biografi Edith
Stein. Malang: Dioma, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar