Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Sabtu, 05 September 2015

Refleksi



Komunitas Karmel adalah Komunitas Kasih
Oleh: Marianus Ivo Meidinata

“Hidup dalam komunitas merupakan penjelmaan kasih tanpa pamrih Allah yang tampak pada hakikat kharisma dan kenabian hidup bakti Karmel.”

Lih. Konstitusi Ordo Karmel nomor 30

Komunitas adalah hal yang penting bagi Karmelit. Sejak di Gunung Karmel, mereka telah membentuk komunitas yang sampai saat ini masih dipertahankan. Dalam komunitas inilah mereka saling mengasihi sebagai saudara.
Konstitusi menyebutkan bahwa komunitas akan mendorong Karmelit untuk mengenal dan mengasihi Allah serta saudara se-komunitas. Hal ini diteladankan oleh St. Maria yang setia mengasihi Allah dan sesama. Bahkan St. Theresia Lisieux menyimpulkan begitu indah, “Jika kita mengasihi Allah, kita juga mengasihi saudara kita. Dan jika kita mengasihi saudara kita, kita juga mengasihi Allah.” Dari waktu ke waktu, komunitas Karmel semakin jelas bahwa kehadirannya menjadi sarana mengasihi serta pendorong Karmelit untuk mengedepankan kasih.
St. Edith Stein mengungkapkan bahwa komunitas adalah persaudaraan Karmelit. Walaupun ada banyak suka-duka maupun baik-buruk, semuanya pasti memberikan yang terbaik bagi setiap saudara. Segala sesuatu yang ada dalam komunitas akan menghantar Karmelit untuk mengasihi saudaranya.
St. Theresia Lisieux memiliki pengalaman yang hampir sama. Dia mengakui bahwa mengasihi itu tidak mudah. Namun dia bahagia sebab St. Maria telah memberi teladan mengasihi sesama dengan menanggung penderitaan sebagai Ibu Kristus. Kasih yang menggerakkan seseorang untuk berkorban bagi sesama. Begitu juga Karmelit yang karena kasih tergerak untuk berkorban bagi saudara sekomunitas, dengan menjalankan doa, persaudaraan dan pelayanan. Komunitas yang dipenuhi dengan doa, persaudaraan dan pelayanan adalah wujud dari kasih bagi saudara.[1]

Komunitas Berdoa karena Kasih
Hidup doa adalah ciri khas Ordo Karmel. Doa tidak harus untuk dunia atau karya yang besar, namun doa juga untuk hal yang kecil, seperti doa bagi saudara dalam komunitas.
Komunitas memberi kejelasan dan kepastian bagi Karmelit, tentang siapa saudara yang memiliki kedekatan secara fisik. Sebagai Karmelit, doa bagi saudara se-komunitas adalah panggilan. St. Theresia Lisieux dan St. Edith Stein memberi teladan bagi Karmelit. Mereka setia berdoa bagi saudara se-komunitas, baik yang menyenangkan maupun yang menjengkelkan. Walaupun sulit, mereka tetap berusaha untuk tulus ikhlas berdoa demi kebaikan bersama. Mereka sadar bahwa kasih yang diwujudkan dalam doa adalah kesucian dari kasih itu sendiri.
Komunitas Karmel menyediakan waktu khusus untuk berdoa bersama, sesuai dengan regula Ordo Karmel nomor 11. Doa bersama mengandung dua makna yaitu doa sebagai panggilan dan doa bersama sebagai pupuk bagi kebersamaan komunitas. Selain mewakili dan mendoakan dunia, dalam doa bersama Karmelit juga berdoa bagi komunitas dan mereka saling mendoakan satu sama lain. Inilah keistimewaan doa bersama dalam komunitas Karmel. Kebersamaan ini bersumber dari teladan St. Maria dan para murid Gereja perdana, yang setelah Yesus wafat membangun komunitas. Dalam kebersamaan, mereka sering bersatu dalam doa untuk saling mendoakan. St. Maria adalah pelopor doa di antara mereka. Awalnya St. Maria berdoa pribadi dan ketika para murid mengetahuinya barulah mereka mengikuti.[2] St. Maria mengetahui bahwa doa dapat menjaga kebersamaan dan menjaga kobaran kasih di antara mereka sesuai dengan nasehat Yesus untuk saling mengasihi.
Selain doa bersama, komunitas Karmel juga menekankan doa pribadi dalam bilik masing-masing. Inilah keistimewaan Komunitas Karmel. Siang-malam Karmelit memiliki waktu untuk berdoa pribadi.[3] Pada saat inilah Karmelit dapat leluasa berdoa dan saat inilah doa bagi saudara dapat dipanjatkan. St. Theresia Lisieux dan St. Edith Stein selalu menggunakan waktu pribadi untuk berdoa bagi saudara se-komunitas. Inilah tindakan tersembunyi yang berpengaruh besar pada kesatuan komunitas. Tindakan tersembunyi yang menumbuhkan kasih satu sama lain.

Persaudaraan dalam Kasih Komunitas
Dalam hidup bersama, Karmelit menuju pada persatuan yang lebih mendalam untuk saling mengenal dan mengasihi semua saudara.[4] Inilah yang terus diusahakan Karmelit dalam hidup berkomunitas. Banyak tantangan yang terjadi dalam hidup berkomunitas, seperti individualis, perasaan suka-tidak suka maupun kecenderungan tertutup. Namun hal-hal demikian perlu dihindarkan, supaya komunitas Karmel tetap sejalan dengan konstitusi nomor 31 di atas.
Bagi Karmelit, hidup bersama adalah keharusan. Cara hidup ini sudah ditetapkan sejak awal lahirnya Ordo Karmel sehingga cara hidup ini mendarah daging sampai saat ini. Kenyataan ini memunculkan beberapa kabiasaan dalam komunitas Karmel. Setiap komunitas perlu memiliki pemimpin. Pemimpin dalam Ordo Karmel bukanlah seorang yang yang berposisi di atas, namun tetap sejajar dengan saudara yang lain. Pemimpin hanyalah saudara yang dianggap tua, yang diserahi tanggung jawab untuk membawa komuitas ke arah yang benar. Adanya pemimpin komunitas dalam Karmel, terinspirasi oleh St. Maria sang inspirator Karmel. Dia bukanlah pemimpin yang membawahi para murid. Namun St. Maria adalah figur yang membawa persatuan dan arah hidup para murid perdana ketika di Yerusalem dan dialah yang mengarahkan para murid kepada Yesus Kristus. Karena hal itu, sejak dulu sampai sekarang St. Maria dianggap sebagai hati yang membawa Gereja kepada persekutuan dan persatuan yang mendalam.[5] Demikian juga peran seorang pemimpin dalam Karmel, sebagai hati yang menyatukan dan menghidupkan kebersamaan dalam komunitas. Dalam Karmel, kaul ketaatan dimulai di komunitas, sebab bagi Karmelit ketaatan pada pimpinan adalah keharusan. Walaupun pemimpin komunitas bukanlah atasan yang otoriter namun Karmelit perlu sadar untuk terus taat. Hal ini telah ditulis pada regula nomor 23 yang menegaskan bahwa saudara-saudara perlu taat pada prior (pemimpin) karena secara tidak langsung dia dipilih oleh Allah. Karmelit perlu mendasarkan kasih, supaya dengan ikhlas dan tulus mampu taat. Ketaatan pada pemimpin adalah bentuk kasih pada komunitas. Karmelit perlu berkaca pada St. Maria, St. Theresia Lisieux dan St. Edith Stein yang dalam hidupnya setia untuk taat, sebagai wujud kasih mereka bagi Allah dan sesama.
St. Theresia Lisieux memiliki 3 kebiasaan dalam menghidupi kebersamaan dalam komuitas. Dalam kehidupan sehari-hari ada kesibukan yang menyita waktunya, namun sebisa mungkin dia tetap mengikuti acara-acara bersama seperti doa dan rekreasi. Dia merasa pertemuan itulah yang mempererat persaudaraan dalam komunitas. Selain itu untuk menjaga agar hidupnya tidak seenaknya sendiri, dia berusaha untuk selalu menepati aturan yang ada. Dalam komunitas, ada keinginan untuk hidup sesuka hati, padahal anggota komunitas tidak satu orang melainkan ada sekian banyak orang. Kebersamaan dalam komunitas itulah yang butuh adanya peraturan. Karmelit perlu memiliki kesadaran dan kasih atas komunitas supaya aturan dapat ditepati. Jika kesadaran dan kasih bagi komunitas tidak ada, hidup hanyalah untuk diri sendiri dan yang pasti hidup seenaknya sendiri. St. Theresia Lisieux juga memberi teladan sikap yang ramah dalam hidup berkomunitas. Dia mengungkapkan bahwa kasih yang mampu menggerakkan sikap ini. Walaupun dia merasa dibenci oleh saudaranya, dia tetap memberi senyum dan keramahan. Dia menyadari bahwa saudara yang membencinya tetaplah saudaranya dan jika kasih tertutup hanya karena perasaan benci, apa gunanya hidup bersama sebagai saudara. Dia berpegang pada Injil Lukas 6: 32, “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka.”. Karena Injil inilah dia memiliki kasih yang utuh kepada semua saudaranya, termasuk yang membencinya.

Komunitas Kasih: Sekolah Melayani
Pelayanan Karmelit dimulai sejak berada di komunitas. Komunitas berperan sebagai sekolah hidup bagi Karmelit. Pelayanan Karmelit dalam komunitas adalah cerminan pelayanannya secara umum. Karmelit perlu membiasakan diri untuk setia melayani komunitas. Komunitas yang dimanfaatkan sebagai sekolah melayani, akan membentuk Karmelit yang juga melayani di luar komunitas.
Dalam konstitusi nomor 33 dituliskan bahwa komunitas menjadi tempat perpaduan pelayanan. Setiap anggota komunitas dapat memberi pelayanan sesuai kemampuan sehingga pelayanan yang diberikan akan dipadukan dengan pelayanan saudara yang lain.
Karmelit dapat mewujudkan kasih bagi komunitas dengan melayani. Melayani bukanlah hal yang gampang, butuh semangat dan penyerahan diri untuk dapat melaksanakannya. Apalagi komunitas terdiri dari beragam anggota, belum tentu pelayanan diterima semua saudara. Hanya kasih yang mampu mengalahkan perasaan-perasaan yang menghalangi pelayanan. Komunitas akan hidup jika kasih mulai bertindak. Karmelit yang melayani akan membuat komunitas lebih hidup. Kasih dalam komunitas akan sungguh nyata, sebab saling melayani adalah bukti nyata dan bentuk fisik dari kasih. Pelayanan semata-mata adalah pemberian diri bagi komunitas.[6]
St. Theresia Lisieux adalah contoh yang tepat dalam melayani. Pelayanan yang dia berikan tidak terlalu besar, cukup yang kecil dan sederhana. Namun pelayanan kecil itu dia lakukan dengan sepenuh hati dan sungguh berasal dari kasih. Hampir tidak pernah dia mengeluh atas pelayanannya. Dia hanya berpikir untuk melayani dan memberi kasih, apa pun hasilnya, dia tetap melayani. Dia pun taat pada tugas yang diberikan. Biarpun tugas itu membebani, namun berpegang pada kasih dia mampu melaksanakan tugas bagi komunitas.
Lain dengan St. Edith Stein. Dia sungguh memanfaatkan komunitas sebagai sekolah. Di awal hidup berkomunitas tugas pelayanannya adalah menyapu dan mengepel. Tugas ini cukup sulit baginya sebab jarang dia melakukan pekerjaan ini sebelumnya. Di komunitaslah dia belajar. Walaupun ditertawakan dia tetap belajar tanpa ragu. Tugas dan pelayanan yang diberikan tetap dilaksanakan, kendati sulit. Hanya kasih yang mampu mempertahankan tekad St. Edith Stein untuk mau belajar melayani di komunitas.

Komunitas Mendukung Perkembangan Karmelit
Dengan segala aktifitas yang ada, komunitas membawa Karmelit pada perkembangan hidup. Dan memang demikian salah satu tujuan komunitas, sebab dalam konstitusi dituliskan bahwa sejak awal berdirinya Ordo Karmel komunitas dibentuk dan disusun guna mendukung perkembangan Karmelit.[7]
St. Edith Stein juga mengalami perkembangan itu. Dia berkembang dalam kepribadian. Dulunya dia adalah seorang pendiam yang selalu murung. Namun karena kehadiran komunitas Karmel, dia berkembang menjadi pribadi yang periang. Dalam hidup rohani dia merasa dikembangkan oleh komunitas. Dalam usaha mencari kebenaran, dia merasa kehadiran komunitas menyempurnakan jawaban yang telah dia terima. Komunitas membawanya semakin dekat dengan Tuhan Yesus - Sang Kebenaran. Dia sungguh bersyukur atas adanya komunitas. Bahkan dia bersyukur atas hal-hal buruk dan menyakitkan yang dialami di komunitas, sebab hal-hal itu banyak menyadarkan dia. Dia bersyukur bahwa hal buruk dan menyakitkan tidak menjatuhkan dia, namun malah membawanya pada perkembangan hidup. Komunitas sungguh mendewasakannya. Dalam RIVC (Ratio Institutionis Vitae Carmelitanae) nomor 37 dituliskan bahwa komunitas adalah tempat kerjasa sama untuk berkembang. Perkembangan itu dialami oleh semua anggota komunitas, sebab secara tidak langsung Karmelit saling bekerja sama dan saling mendukung perkembangan dengan caranya masing-masing.
Lebih dari itu, komunitas membawa Karmelit untuk semakin dekat dengan Tuhan Yesus. Dengan segala kasih dan pengabdian, Karmelit dibantu oleh komunitas untuk semakin mengenalNya. Kenyataan ini adalah jiwa St. Maria, jiwa yang membawa setiap orang untuk semakin dekat dengan Yesus. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa komunitas Karmel adalah komunitas yang berjiwa Maria, jiwa yang membawa Karmelit untuk semakin dekat dengan Tuhan Yesus. Segala kasih dan pengabdian dalam komunitas bersumber pada sang inspirator, bunda dan saudari Karmelit – St. Maria.

Refleksi
Komunitas merupakan anugerah dari Allah. Dia menganugerahkan komunitas sebagai wadah perwujudan kasih. Saya bersyukur sebab Karmelit menanggapi positif atas anugerah ini, sehingga dalam kehidupan, kasih diwujudkan oleh Karmelit dalam doa, persaudaraan dan pelayanan. Tiga kharisma hidup Karmel yang bersumber dari kasih, akhirnya memenuhi komunitas Karmel sehingga komunitas Karmel dapat disebut sebagai komunitas kasih.
Komunitas merupakan Gereja kecil yang membantu Karmelit untuk bersiap menghadapi realitas Gereja yang sebenarnya. Komunitas sebagai Gereja kecil perlu dihayati sebagai lahan untuk menggali pengalaman hidup yang lebih mendalam. Di saat inilah Karmelit perlu melewati segala suka-duka maupun baik-buruk dengan lapang dan sepenuh hati, sebab kehidupan di luar komunitas akan lebih berliku dan terjal. Di sinilah peran komunitas dalam membantu Karmelit menemukan makna dan refleksi atas hidup, atas kesulitan dan kemudahan, sehingga nantinya Karmelit tidak terlalu sulit menjalankan karya dan kehidupan di luar komunitas.
Dan akhirnya, komunitas adalah mengikuti Yesus. Yesus telah memanggil dan Karmelit menanggapiNya. Mengikuti Yesus berarti setia dengan hidup dan segala yang ada dalam komunitas. Ini merupakan konsekuensi dan isi mengikuti Yesus. Salib kecil Karmelit berada dalam komunitas. Suka dan duka adalah Salib yang setiap hari perlu untuk dipanggul. Dan kasih adalah Salib yang perlu dipersembahkan.
St. Maria, ibu dan saudari Karmelit tetap ada untuk mendampingi. Dia berperan sebagai hati yang menghidupkan dan menguatkan Karmelit. Karmelit perlu untuk tetap setia berjalan bersama St. Maria dalam doa, persaudaraan dan pelayanan. Mewujudkan kasih kepada saudara se-komunitas adalah hidup dan panggilan Karmelit, sebab komunitas Karmel adalah komunitas kasih.

“Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan...”
1 Yoh 3: 18




Sumber Pustaka
Phang, Benny, Berkobar-kobar bagi Allah, Malang: Karmelindo, 2012.
Liagre, Pere. Berpadang Gurun Bersama St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus. Lembang: Biara Karmel, 1993.
Arborelius, Anders. Biografi Edith Stein. Malang: Dioma, 1997.



[1] Bdk. Konstitusi Ordo Karmel nomor 30
[2] Bdk. Konstitusi Ordo Karmel nomor 27
[3] Bdk. Regula Ordo Karmel nomor 10
[4] Bdk. Konstitusi Ordo Karmel nomor 31
[5] Bdk. Phang, Benny, Berkobar-kobar bagi Allah, Malang: Karmelindo, 2012.
[6] Bdk. RIVC nomor 35
[7] Bdk. Konstitusi Ordo Karmel nomor 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar