Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Senin, 25 Juli 2016

George Simmel Biografi dan Pandangannya

George Simmel
Biografi dan Pandangannya
Oleh: Marianus Ivo Meidinata

Biografi
Georg Simmel adalah seorang filsuf Jerman. Dia adalah salah satu tokoh yang menjadikan sosiologi sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1858, di Berlin, Jerman. Ia mempelajari berbagai cabang ilmu di Universitas Berlin dan menerima gelar doktor filsafat tahun 1881. Dia kemudian menjadi dosen yang tidak digaji, yang dalam kehidupannya tergantung pada honor dari mahasiswa. Ia seorang dosen yang cerdas dan menarik mahasiswa.
Simmel menulis banyak artikel dan buku, misalnya“The Philosophy of Money”. Ia terkenal di kalangan akademis Jerman, dan mempunyai pengikut internasional, terutama di Amerika. Di situ karyanya memiliki pengaruh besar dalam usaha melahirkan sosiologi. Banyak artikelnya yang diminati oleh kaum intelek publik. Dibanding  dengan Weber dan Marx, Simmel lebih cenderung membahas tentang masalah yang berskala kecil, terutama tindakan dan interaksi individu. Dua bentuk sosiasi yang ditulisnya adalah bentuk makroskopis dan mikroskopis.
Walaupun demikian, beberapa dari karier hidupnya gagal karena pengaruh statusnya sebagai orang Yahudi. Abad 19 adalah abad anti-Yahudi di Jerman. Apalagi penghargaan kepada sosiolog juga begitu kurang pada saat itu.
Simmel hidup dalam keadaan sosial Jerman yang bergejolak. Akhir abad ke-19, Jerman mengalami ledakan dalam industri kapitalis, serta peningkatan urbanisasi. Pada saat itu, politik Jerman mencerminkan nilai-nilai aristokrasi semi feodal  dan menerapkan disiplin militer. Dalam kondisi seperti ini, Simmel tidak mau terlibat dalam bidang politik. Jika ia berbicara tentang masalah sosial, politik, atau ekonomi, itu hanya digunakannya untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran teoritisnya yang umum. 
Dalam pemikirannya, Simmel banyak dipengaruhi oleh seorang filsuf, Immanuel Kant. Kant mengembangkan suatu pemikiran yang melihat bahwa individu pada dasarnya baik  dan memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Dari pemikiran Kant, Simmel juga menyadari bahwa setiap manusia itu unik dan berbeda satu sama lain. 
Studinya tentang filsafat juga turut mempengaruhi pemikirannya. Misalnya saja, pemikiran tentang interaksi diadopsinya dari pemikiran Empedokles dan Heraklitos. Menurut Simmel, interaksi sosial terdiri dari asosiasi dan sosiasi. Hal ini selaras dengan pemikiran filsuf-filsif tersebut tentang harmonisasi kosmos yang berbicara bahwa benci dan cinta, baik dan jahat, ada untuk membentuk alam semesta.
Dalam hal lain, ia juga dipengaruhi oleh model evolusi Spencer mengenai kompeksitas sosial yang semakin bertambah. Evolusi ini berusaha menjelaskan perubahan masyarakat secara bertahap dari suatu struktur yang sederhana ke suatu struktur yang lebih kompleks. Maka dari itu, dalam pemikiran tentang masyarakat, terlebih dahulu dia menjelaskan tentang individu.
Namun perlu diingat bahwa Simmel juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu yang dipelajarinya seperti filsafat, psikologi, politik, maupun ekonomi. Dalam hidupnya dia menaruh perhatian dalam bidang-bidang itu, baik dalam studi, pengajaran, maupun dalam tulisannya. Hal ini membuat pemikiran sosiologinya juga lebih kompleks menyangkut ilmu-ilmu lain.

Teori

Individu 
Manusia memiliki kedudukan sebagai unterschiedswesen, yang dapat diartikan sebagai mahkluk perbedaan. Manusia adalah mahkluk perbedaan karena dia tidak mau dan tidak dapat disamakan sepenuhnya dengan yang lain. Dengan kata lain, manusia adalah sama sekaligus berbeda. Seorang manusia, sebagai ciptaan sosial, memiliki keunikan yang berbeda dengan yang lain dalam hidup sosialnya.
Fenomena mode dalam masyarakat dapat dipakai untuk menjelaskan ketegangan antara yang sama dengan yang berbeda. Mode adalah bagian dari kehidupan kolektif. Jika tidak begitu, mode tidak disebut sebagai mode. Akan tetapi mode akan dibarui jika mode mengambil jarak dari selera kolektif. Individualitas pada mode itu akhirnya akan dihargai sebagai bagian dari kehidupan kolektif.
Setiap individu adalah hasil pembentukan subjek-subjek di sekitarnya. Perjumpaaan dengan orang lain turut membentuknya sebagai individu. Dalam hal ini, individu memiliki sifat kolekif karena menjadi hasil dari pembentukan dalam sebuah masyarakat. Individu tidak dapat dilepaskan dari masyarakat.
Simmel memperkenalkan istilah “wechselwirkung” yang memiliki arti “efek timbal-balik”. Istilah ini ingin menunjukkan bahwa masyarakat adalah hasil dari efek timbal-balik di antara individu-individu. Efek timbal-balik inilah yang mempersatukan masyarakat.

Masyarakat
Masyarakat muncul dan terbentuk karena interaksi timbal-balik “wechselwirkung” yang ada di dalamnya. Interaksi ini mengandung aktivitas saling mempengaruhi. Pengertian ini muncul dalam istilah vergesellschaftung yang secara harfiah berarti “proses terjadinya masyarakat” atau disebut juga dengan istilah “sosiasi’. Masyarakat adalah keseluruhan hubungan yang saling mempengaruhi yang akhirnya menghasilkan berbagai bentuk sosiasi.
Masyarakat menjadi ada dan terbentuk karena individu-individu yang saling mempengaruhi. Pengaruh timbal-balik ini terjadi dari berbagai dorongan dan tujuan tertentu. Hubungan antar individu ini, akhirnya memberi pengaruh kepada semua dan semua menerima pengaruh dari semua. Dengan kata lain, individu-individu yang saling berinteraksi ini saling memberi dan menerima pengaruh satu sama lain. Munculnya masyarakat terjadi bukan karena terkumpulnya individu-individu, tetapi relasi-sosiasi di antara individu-individu tersebut. Sosiasi itulah yang membentuk suatu masyarakat.
Simmel menemukan bentuk-bentuk sosiasi yang dibagi dalam ranah makroskopis dan mikroskopis. Sekarang mari kita lihat lebih lanjut bentuk-bentuk sosiasi ini.

Sosiasi Makroskopis
Bentuk sosiasi pertama adalah superordinasi dan subordinasi. Secara formal struktural, dalam masyarakat terdapat orang/kelompok yang memimpin (superordinasi) dan ada pula yang dipimpin (subordinasi). Pihak-pihak ini tidak dapat diisolasi keberadaannya sebab keduanya menghasilkan efek timbal-balik. Efek ini akhirnya menciptakan sosiasi di antara mereka. Namun simmel menambahkan bahwa setiap individu memiliki kebebasan, sehingga tidak semua individu bisa masuk dalam bentuk sosiasi ini.
Bentuk yang kedua adalah individualisasi dan kolektivisasi. Individu itu sendiri dilihat sebagai makhluk yang berada  di dalam sekaligus di luar kelompoknya. Hidup manusia adalah hidup yang penuh pergulatan antara individu dan kelompok. Manusia tidak sepenuh-penuhnya terhisap ke dalam kelompoknya dan juga tidak seluruhnya memisahkan diri dari kelompoknya. Individu selalu mereservasi suatu wilayah non-sosial dari dirinya sehingga kebersamaannya dengan yang lain tidak menghilangkan dirinya seutuhnya. Hal-hal yang bersifat individual seperti kepentingannya, kepribadiannya, maupun motivasinya justru menentukan bagaimana dia membentuk sosiasi dengan yang lain.
Menurut simmel relasi antara individualisasi dan kolektivisasi memiliki pola yang menyerupai hukum. Simmel melihat bahwa kelompok-kelompok itu begitu ekslusif dan membedakan diri dengan kelompok lain. Walaupun demikian individu-individu yang ada di dalamnya tetap memiliki perbedaan. Perbedaan ini terwujud dari unsur kepentingan pribadi yang menimbulkan kompetisi di antara individu yang lain. Kompetisi ini menimbulkan kesamaan dan relasi dengan kelompok luar yang ingin bersaing dan menjatuhkan kelompok tersebut. Dalam sebuah kelompok, ketika seseorang berkompetisi dengan yang lain, maka yang terjadi adalah terpecahnya kelompok tersebut. Bisa saja terjadi bahwa seseorang tersebut malah menjadi sama dengan kelompok lain dan bergabung dengan kelompok tersebut yang memiliki tujuan menghancurkan kelompok lama.
Bentuk sosiasi yang ketiga adalah konflik atau pertarungan. Konflik merupakan sebuah bentuk sosiasi yang khas. Dari kejadian ini individu menjalankan aktifitas timbale-balik dengan individu yang lain. Dengan adanya konflik, individu juga memulai sosiasi/kerjasama dengan individu lain yang memiliki tujuan yang sama. Dengan kata lain , konflik dengan seseorang bisa membantuk sosiasi dengan orang lain. 
Di bagian ini, Simmel ingin mengatakan bahwa sosiasi itu sempurna jika terdapat kerja sama dan konflik, cinta dan benci. Inilah harmoni hidup, yang dari kedua hal ini malah menjadi unsur yang membentuk masyarakat.
Inilah yang terjadi dalam kehidupan bahwa masyarakat dianggap sebagai bentuk kebersamaan yang seakan segalanya baik. Padahal dalam kenyataan sehari-hari masyarakat dibangun dari sosiasi dang konflik yang berlangsung silih berganti.

Sosiasi Mikroskopis
Setelah kita membahas bentuk sosiasi dalam ranah makroskopis, sekarang mari kita membahas bentuk sosiasi dalam ranah mikroskopis.
Bentuk-bentuk sosiasi ini dimulai dalam relasi antara dua orang yang disebut dengan “Gesellschaft zu zweien”. Menurut Simmel, masyarakat sudah dimulai dari relasi antara dua orang. Dalam sosiasi ini Simmel ingin menunjukkan bahwa dalam relasi yang kecil ini, individualitas dan kolektivitas juga muncul. Analisis mikroskopis tentang hal-hal yang sederhana ini mengandung relasi yang mendalam antara individu-individu yang ada terutama dalam panca indera. Interaksi yang terjalin lewat panca indera akhirnya menjadi pangkal dari sosiasi. 
Simmel memperlihatkan bahwa organ-organ pengindera manusia memainkan peranan yang khas dalam sosiasi. Misalnya saja, proses saling menatap di antara dua orang membentuk interaksi yang langsung dan murni. Lewat membau pun, manusia bisa membedakan kelas sosial dalam masyarakat. Orang yang memiliki bau keringat dianggap orang rendahan atau masyarakat kecil.
Bentuk sosiasi berikutnya adalah keguyuban. Dalam bentuk sosiasi ini terjadi penggabungan antara seni dan permainan. Bentuk interaksi menjadi hal yang lebih penting daripada isinya. kebersamaan menjadi tujuan dari model sosiasi ini; dan bagaimana bentuk interaksinya itu tidak penting. Maka dalam bentuk sosiasi ini, diperlukan kondisi sosial yang sederajad. Kalaupun tidak sederajad, di antara mereka perlu adanya sikap dan anggapan bahwa mereka sederajad.
Bentuk sosiasi lainnya adalah sosiasi makan bersama. Dari sosiasi ini berkembang suatu hubungan interaksi yang saling memberi efek timbal-balik. Struktur sosiologis bersantap, yang menghubungkan keegoisan eksklusif dengan frekuensi kebersamaan, muncul dengan sebuah kebiasaan berkumpul bersama. Orang-orang yang tidak memiliki tujuan maupun kepentingan tertentu dapat saling berkumpul dan berinteraksi. Hal yang paling primitif, natural, dan sederhana menjadikan sosiasi bersantap ini memiliki sifat yang kompleks.
Itulah bentuk-bentuk sosiasi mikroskopis. Secara umum, analisis sosial hanya memusatkan perhatian pada struktur atau sistem sosial. Perasaan-perasaan sosial dianggap tidak penting dan tidak perlu diperhatikan. Bagi Simmel perasaan-perasaan sosial sama pentingnya dengan struktur sosial, sehingga dalam analisis sosialnya perasaan individu cukup mendapat tempat. Dapat disimpulkan bahwa integritas sosial adalah struktur sosial beserta perasaan sosial.
Dalam proses sosiasi, kesetiaan, rasa terima kasih, dan rasa malu merupakan perasaan yang cukup penting. Menurut Simmel, perasaan-perasaan tersebut menghasilkan pengaruh timbal-balik dalam proses sosiasi. Perasaan yang kadang tidak diperhatikan ini, memiliki peran yang penting dalam proses sosiasi. Inilah kelebihan dari Simmel yaitu melihat hal-hal kecil dari manusia dan berani menggunakan cabang ilmu pengetahuan yang lain untuk menyempurnakan ilmu sosiologinya.

Orang Samaria

PANORAMA HIDUP ORANG SAMARIA 
(Uraikanlah orang Samaria dan penyebutannya dalam Perjanjian Baru!)
Oleh: Marianus Ivo Meidinata, O. Carm.

Ketika mendengar kata Samaria, pikiran kita langsung mengarah kepada perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10:30-37). Perumpamaan ini menyentak hati orang Yahudi, karena orang yang mereka benci justru berbuat baik dan dipuji oleh Yesus. Namun, siapakah sebenarnya orang Samaria itu?

Sejarah Awal Orang Samaria
Untuk mengetahui siapa orang Samaria, kita perlu melihat kembali satu sejarah penting Israel yaitu terpecahnya Kerajaan Israel menjadi Kerajaan Utara dan Selatan. Kerajaan Utara (tetap menggunanakan nama Israel) inilah yang akhirnya menjadikan Samaria menjadi ibu kotanya. Omri (salah satu raja yang pernah memerintah Kerajaan Utara) membeli Gunung Samari dan mendirikan sebuah kota di atasnya. Kota itulah yang disebut Samaria.
Pada tahun 722 SM, Asyur berhasil menaklukkan Israel dan membuang penduduknya ke Asyur dan daerah kekuasaannya yang lain. Asyur yang dipimpin oleh Sargon juga mengutus orang-orang jajahan dari daerah lain untuk menempati kota Samaria, supaya di sana tidak ada kebangkitan politik. Mereka itulah yang kemudian disebut orang Samaria. Mereka berbakti kepada Allah Yahwe. Tetapi mereka juga menyembah allah mereka masing-masing. 

Mengapa Orang Samaria ‘Bermusuhan’ dengan Orang Yahudi?
Permusuhan antara orang Samaria dan orang Yahudi bermula ketika orang Yahudi kembali ke Yerusalem (538 SM) sesudah mereka dibuang di Babel. Ketika kembali ke Yerusalem, orang Yahudi berniat untuk membangun negeri mereka dan Bait Allah. Namun orang Samaria menghalangi mereka, karena orang Samaria merasa sakit hati ketika niat mereka untuk membantu pembangunan Bait Allah ditolak. 
Dengan adanya peristiwa ini, tidak berarti  bahwa korban dari permusuhan ini adalah orang Yahudi. Orang Samaria pun merupakan korban. Saat keluarga imam besar Yohanes Hirkanus berkuasa, Samaria diserang dan Bait Allah mereka dihancurkan. Hal ini membuktikan bahwa dalam permusuhan mereka, tidak ada yang berperan sebagai korban. 
Sebenarnya bibit permusuhan ini sudah ada sejak lama, yaitu sejak suku-suku Israel memasuki Kanaan (930 SM).  Saat itu 10 suku Israel memisahkan diri dari 2 suku Yehuda (1 Raj 12-13), sehingga muncul ‘benteng’ yang memisahkan suku-suku di sebelah utara dengan selatan. Ketika Daud naik tahta, ia berhasil menyatukan dua kerajaan ini di bawah pimpinannya (2 Sam 5:5). Namun ketika kerajaan itu terpecah setelah masa pemerintahan Salomo, garis pemisahnya mengikuti pola lama. Orang-orang Samaria bukan hanya dianggap sebagai musuh politik, namun juga sebagai orang najis. Hal inilah yang membuat orang-orang Yahudi menolak orang Samaria untuk membantu pembangunan Bait Allah (Neh 13:23-30). 
Pada tahun 6 M Yudea dan Samaria dijadikan satu provinsi. Orang Samaria menghamburkan tulang-tulang di Bait Allah menjelang perayaan Paskah, sehingga orang Yahudi semakin membenci mereka. Ada lagi, pada tahun 52 M, orang Samaria membantai sekelompok peziarah Galilea di En Ganim. Peristiwa ini menyebabkan sengketa yang memunculkan keputusan yang menguntungkan orang Yahudi sehingga orang Samaria merasa dirugikan. Tidak ada pembaharuan hubungan di antara mereka. Sebaliknya, dari masa ke masa hubungan mereka bertahan dalam suasana permusuhan.

Hidup Keagamaan
Perpecahan antara keduanya membuat orang Yahudi menganggap orang Samaria sebagai bangsa campuran, serta memandang agama mereka sebagai agama yang kompromis dan tidak murni lagi. Namun orang Samaria sendiri mengaku mengikuti Yudaisme yang lebih murni dengan secara khusus memusatkan diri pada kelima Kitab Musa (sesuai terjemahan mereka). Tempat ibadat mereka berada di Gunung Gerizim dan dilayani oleh para imam. Jika mereka ke Bait Allah Yerusalem, mereka berada di halaman kafir.
Ada 6 hal yang menjadi kepercayaan mereka yaitu percaya akan satu Tuhan, kepada Musa sang nabi, kepada hukum Taurat, kepada Gunung Gerizim sebagai bait suci, kepada hari penghakiman, dan percaya akan kedatangan Mesias sebagai penyelamat. Beberapa pola keagamaan mereka mirip dengan orang Yahudi seperti perayaan hari Paskah, hari sabat, dan hukum-hukum keagamaan yang sesuai dengan hukum Taurat.

Orang Samaria dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, sikap Yesus dan Gereja Perdana terhadap orang Samaria sungguh berbeda dengan orang Yahudi. Orang Samaria cukup mendapat tempat dalam hidup Yesus dan dalam penyebaran kabar gembira. Dalam Luk 10:25-37 Yesus memakai orang Samaria untuk menjawab persoalan mengenai siapa yang disebut sesama. Dalam perumpamaan ini orang Samaria ditampilkan sebagai tokoh yang menaruh belas kasih terhadap orang yang menderita. Orang yang disingkirkan oleh masyarakat Yahudi justru bertindak dengan mulia.
Dalam Luk 17:9-18 dikisahkan kembali keluhuran sikap orang Samaria. Dalam kisah ini, seorang Samaria yang disembuhkan dari kusta oleh Yesus kembali kepadaNya untuk mengucap syukur dan memuliakan Allah. Dia yang dinilai sebagai orang asing dan kafir, malah tahu berterima kasih dan tahu memuliakan Allah.
Berbeda lagi dengan Yoh 4:1-42 yang mengisahkan pertemuan Yesus dengan perempuan Samaria. Dalam kisah ini, perempuan Samaria memiliki respon positif terhadap Yesus. Walaupun dia seorang Samaria (bahkan berdosa), namun dia mampu percaya dan berani mewartakan Injil keselamatan. Banyak dari orang Samaria percaya akan kabar keselamatan ini.
Selain berada dalam perumpamaan dan kisah bersama Yesus, orang Samaria juga memiliki posisi yang positif dalam penyebaran Injil keselamatan. Dalam Kis 1:8 digambarkan bagaimana penyampaian kabar gembira tentang Yesus keluar dari Yerusalem melalui Yudea dan Samaria, dan kemudian sampai ujung dunia. Kabar gembira yang pernah ditolak oleh orang Samaria (Luk 9:53), kini telah berubah menjadi penerimaan. Bukan hanya menerima, mereka juga menjadi sarana pewartaan. Di lain kesempatan, Para Rasul juga bergembira karena tanah Samaria telah menerima firman Allah yang disampaikan oleh Filipus (Kis 8:4-25). Karena hal ini, mereka mengutus Petrus dan Yohanes untuk menganugerahkan Roh Kudus sebagai penegasan bahwa orang Samaria telah menjadi bagian dari Kerajaan Yesus.
Yohanes dan Yakobus yang ingin menurunkan api bagi perkampungan Samaria (Luk 9:54), kini telah terlaksana. Bukan api kebinasaan, tetapi api Roh Kudus dan api keselamatan.

Daftar Pustaka
Douglas, J.D. (ed.). 1995. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 2. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Marsunu, Y.M.S. 2010. Orang Samaria. Wacana Biblika. Volume 10 (No. 2): hlm. 83.
Walker, Peter. 2010. In The Steps of Jesus. Yogyakarta: Kanisius.

Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi

SEBUAH SURAT KEGEMBIRAAN
Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi
Oleh: Marianus Ivo Meidinata

Jemaat yang Dituju
Paulus menulis surat ini untuk jemaat di Filipi (sebuah Kota Romawi yang terletak di Makedonia). Jemaat ini adalah jemaat pertama yang didirikan oleh Paulus di Eropa. Didirikan kurang lebih pada tahun 51, ketika Paulus memberitakan Injil untuk kedua kalinya.
Latar belakang jemaat ini adalah para pengikut kekafiran. Ketika Paulus, Silas, dan Timotius datang ke kota Filipi (Kis 16), ada seorang perempuan yang memiliki roh tenung dan dengan tenungannya tersebut dia membantu tuan-tuannya untuk memperoleh penghasilan yang besar. Demikianlah mereka percaya dan menaruh perhatian pada hal kekafiran.
Orang yang pertama kali mengikuti Paulus adalah Lidia, seorang perempuan yang ditemuinya di sebuah ‘tempat sembahyang’ pada hari sabat. Selain itu, kepala penjara Paulus juga ikut percaya. Baru setelah mereka percaya (beserta keluarga), orang lain pun menyusul percaya. Untuk pertama kalinya, jemaat ini digembalakan oleh Lukas, sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangannya karena Lukas.

Tempat dan Tahun Penulisan
Surat ini ditulis pada saat Paulus berada di penjara. Namun tempat dimana penjara ini berada masih belum dipastikan karena ada pendapat yang berbeda. Efesus dan Roma adalah 2 tempat yang memiliki pendapat yang kuat. 
Pendapat pertama mengatakan bahwa penjara yang dimaksud adalah di Roma. Paulus yang tidak bisa naik banding atas hukumannya (Kis 26) mengisyaratkan bahwa ia di pengadilan tertinggi/Roma. Dia juga mengatakan mengenai “praetorium” (istana), dimana kota kekuasaan Romawi memilikinya. Pendapat kedua adalah di Efesus. Pendapat ini didukung alasan bahwa jarak Filipi dan Efesus relatif dekat sehingga Timotius dan Epafroditus mudah bolak-balik ke penjara (Kis 19). Jika di Efesus surat ditulis antara 54-55 masehi; sedangkan di Roma tahun 61-63.

Tujuan Penulisan
Ada sejumlah alasan yang mendorong Paulus menulis surat ini. Paulus menulis surat ini untuk mengucapkan terima kasih dan ingin memberi kabar kapada jemaat atas keadaannya. Surat ini juga untuk menjelaskan rencananya mengutus Timotius (Flp 2:19-24) dan mengirimkan kembali Epafroditus bagi mereka (Flp 2:25-30). 
Selain itu, surat ini dibuat juga untuk menjaga persatuan umat Kristen di Filipi. Dalam surat yang diterimanya, terdapat kesan adanya bahaya perpecahan pada jemaat. Bahaya Yudais dan ‘kesempurnaan’ palsu juga cukup mendorong Paulus untuk membuat surat ini. Tujuan akhir yaitu untuk memberi semangat kepada jemaat untuk berani menderita dan menyerahkan diri kepada Tuhan atas situasi yang terjadi.

Skema dan Gambaran Isi 
Surat ini tergolong sebagai surat yang menggembirakan. Hampir seluruh isinya berkata tentang sukacita. Surat ini memberi gambaran tentang hubungan yang akrab antara Paulus dan jemaat Filipi. Selain itu, surat ini juga memberi lukisan tentang kehidupan jemaat Kristen. Kehidupan yang berpusat pada Kristus, sebagai pemersatu  dengan Allah, sesama, dan Paulus sendiri. Secara terperinci dijelaskan demikian:
Pendahuluan (1:1-11): Pada bagian ini, Paulus mengawali suratnya dengan salam, ucapan syukur, dan doa. Sifat yang menggembirakan sudah terlihat secara jelas di bagian ini.
Keadaan Paulus (1:12-26): Paulus menyampaikan keadaannya sekaligus realitas penyebaran Injil. Tujuannya supaya jemaat siap akan apa yang terjadi; seperti yang terjadi pada para pewarta Injil yang teguh walau ditempa banyak penderitaan.
Nasehat-nasehat Paulus (1:27-2:18): jemaat diberi nasehat untuk mau mengikuti Injil, bersatu dalam Roh, dan meneladan Kristus.
Utusan Paulus (2:19-3:1a): Paulus memaparkan rencananya mengutus Timotius dan Epikuros.
Kebenaran Sejati (3:1b-4:1): Penjelasan tentang hal-hal yang benar dan salah tentang hidup beriman. Paulus ingin memberikan kebenaran atas permasalahan yang terjadi, terutama atas adanya pengaruh Yudaisan
Penutup (4:2-23): berisi tentang nasehat, ucapan terima kasih, dan salam. Pada bagian ini seruan lebih mengarah pada kesatuan, kegembiraan, dan kedamaian jemaat.

Dua Tema Menarik dan Relevansi Gereja Masa Kini
Tema pertama yang menarik bagi saya adalah tema “Kesaksian Paulus dalam Penjara‘, khususnya pada ayat “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Ayat ini seakan menampar Gereja masa kini. Gereja sudah lupa akan panggilannya yaitu menegakkan kebenaran. Gereja terkesan takut untuk berhadapan dengan tantangan dan permasalahan. Gereja lupa bahwa menegakkan kebenaran adalah Kristus sendiri. Ayat ini sungguh relevan untuk membangkitkan semangat Gereja untuk berani menegakkan kebenaran, seperti yang pernah dinyatakan Ahok atas permasalahan yang dia hadapi. 
Yang kedua adalah tema ‘Nasehat-nasehat terakhir’ terutama pada ayat “Bersukacitalah dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan; Bersukacitalah!” (4:4). Ukuran kebahagiaan umat sekarang adalah harta dan tahta. Sungguh ukuran yang rendah. Banyak umat mulai meninggalkan Kristus dalam kehidupan mereka, sehingga Kristus tidak lagi menjadi ukuran kebahagiaan. Maka dari itu, nasehat Paulus ini sungguh berguna bagi kondisi umat. Inilah realitas Gereja masa kini. Dan sungguh relevan untuk menguatkan iman zaman ini.

Sumber
Groenen, C. 2006. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.
Lembaga Biblika Indonesia. 1988. Surat-surat Paulus 3. Yogyakarta: Kanisius.
Bergant, Dianne. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius.