Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Senin, 25 Juli 2016

Orang Samaria

PANORAMA HIDUP ORANG SAMARIA 
(Uraikanlah orang Samaria dan penyebutannya dalam Perjanjian Baru!)
Oleh: Marianus Ivo Meidinata, O. Carm.

Ketika mendengar kata Samaria, pikiran kita langsung mengarah kepada perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10:30-37). Perumpamaan ini menyentak hati orang Yahudi, karena orang yang mereka benci justru berbuat baik dan dipuji oleh Yesus. Namun, siapakah sebenarnya orang Samaria itu?

Sejarah Awal Orang Samaria
Untuk mengetahui siapa orang Samaria, kita perlu melihat kembali satu sejarah penting Israel yaitu terpecahnya Kerajaan Israel menjadi Kerajaan Utara dan Selatan. Kerajaan Utara (tetap menggunanakan nama Israel) inilah yang akhirnya menjadikan Samaria menjadi ibu kotanya. Omri (salah satu raja yang pernah memerintah Kerajaan Utara) membeli Gunung Samari dan mendirikan sebuah kota di atasnya. Kota itulah yang disebut Samaria.
Pada tahun 722 SM, Asyur berhasil menaklukkan Israel dan membuang penduduknya ke Asyur dan daerah kekuasaannya yang lain. Asyur yang dipimpin oleh Sargon juga mengutus orang-orang jajahan dari daerah lain untuk menempati kota Samaria, supaya di sana tidak ada kebangkitan politik. Mereka itulah yang kemudian disebut orang Samaria. Mereka berbakti kepada Allah Yahwe. Tetapi mereka juga menyembah allah mereka masing-masing. 

Mengapa Orang Samaria ‘Bermusuhan’ dengan Orang Yahudi?
Permusuhan antara orang Samaria dan orang Yahudi bermula ketika orang Yahudi kembali ke Yerusalem (538 SM) sesudah mereka dibuang di Babel. Ketika kembali ke Yerusalem, orang Yahudi berniat untuk membangun negeri mereka dan Bait Allah. Namun orang Samaria menghalangi mereka, karena orang Samaria merasa sakit hati ketika niat mereka untuk membantu pembangunan Bait Allah ditolak. 
Dengan adanya peristiwa ini, tidak berarti  bahwa korban dari permusuhan ini adalah orang Yahudi. Orang Samaria pun merupakan korban. Saat keluarga imam besar Yohanes Hirkanus berkuasa, Samaria diserang dan Bait Allah mereka dihancurkan. Hal ini membuktikan bahwa dalam permusuhan mereka, tidak ada yang berperan sebagai korban. 
Sebenarnya bibit permusuhan ini sudah ada sejak lama, yaitu sejak suku-suku Israel memasuki Kanaan (930 SM).  Saat itu 10 suku Israel memisahkan diri dari 2 suku Yehuda (1 Raj 12-13), sehingga muncul ‘benteng’ yang memisahkan suku-suku di sebelah utara dengan selatan. Ketika Daud naik tahta, ia berhasil menyatukan dua kerajaan ini di bawah pimpinannya (2 Sam 5:5). Namun ketika kerajaan itu terpecah setelah masa pemerintahan Salomo, garis pemisahnya mengikuti pola lama. Orang-orang Samaria bukan hanya dianggap sebagai musuh politik, namun juga sebagai orang najis. Hal inilah yang membuat orang-orang Yahudi menolak orang Samaria untuk membantu pembangunan Bait Allah (Neh 13:23-30). 
Pada tahun 6 M Yudea dan Samaria dijadikan satu provinsi. Orang Samaria menghamburkan tulang-tulang di Bait Allah menjelang perayaan Paskah, sehingga orang Yahudi semakin membenci mereka. Ada lagi, pada tahun 52 M, orang Samaria membantai sekelompok peziarah Galilea di En Ganim. Peristiwa ini menyebabkan sengketa yang memunculkan keputusan yang menguntungkan orang Yahudi sehingga orang Samaria merasa dirugikan. Tidak ada pembaharuan hubungan di antara mereka. Sebaliknya, dari masa ke masa hubungan mereka bertahan dalam suasana permusuhan.

Hidup Keagamaan
Perpecahan antara keduanya membuat orang Yahudi menganggap orang Samaria sebagai bangsa campuran, serta memandang agama mereka sebagai agama yang kompromis dan tidak murni lagi. Namun orang Samaria sendiri mengaku mengikuti Yudaisme yang lebih murni dengan secara khusus memusatkan diri pada kelima Kitab Musa (sesuai terjemahan mereka). Tempat ibadat mereka berada di Gunung Gerizim dan dilayani oleh para imam. Jika mereka ke Bait Allah Yerusalem, mereka berada di halaman kafir.
Ada 6 hal yang menjadi kepercayaan mereka yaitu percaya akan satu Tuhan, kepada Musa sang nabi, kepada hukum Taurat, kepada Gunung Gerizim sebagai bait suci, kepada hari penghakiman, dan percaya akan kedatangan Mesias sebagai penyelamat. Beberapa pola keagamaan mereka mirip dengan orang Yahudi seperti perayaan hari Paskah, hari sabat, dan hukum-hukum keagamaan yang sesuai dengan hukum Taurat.

Orang Samaria dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, sikap Yesus dan Gereja Perdana terhadap orang Samaria sungguh berbeda dengan orang Yahudi. Orang Samaria cukup mendapat tempat dalam hidup Yesus dan dalam penyebaran kabar gembira. Dalam Luk 10:25-37 Yesus memakai orang Samaria untuk menjawab persoalan mengenai siapa yang disebut sesama. Dalam perumpamaan ini orang Samaria ditampilkan sebagai tokoh yang menaruh belas kasih terhadap orang yang menderita. Orang yang disingkirkan oleh masyarakat Yahudi justru bertindak dengan mulia.
Dalam Luk 17:9-18 dikisahkan kembali keluhuran sikap orang Samaria. Dalam kisah ini, seorang Samaria yang disembuhkan dari kusta oleh Yesus kembali kepadaNya untuk mengucap syukur dan memuliakan Allah. Dia yang dinilai sebagai orang asing dan kafir, malah tahu berterima kasih dan tahu memuliakan Allah.
Berbeda lagi dengan Yoh 4:1-42 yang mengisahkan pertemuan Yesus dengan perempuan Samaria. Dalam kisah ini, perempuan Samaria memiliki respon positif terhadap Yesus. Walaupun dia seorang Samaria (bahkan berdosa), namun dia mampu percaya dan berani mewartakan Injil keselamatan. Banyak dari orang Samaria percaya akan kabar keselamatan ini.
Selain berada dalam perumpamaan dan kisah bersama Yesus, orang Samaria juga memiliki posisi yang positif dalam penyebaran Injil keselamatan. Dalam Kis 1:8 digambarkan bagaimana penyampaian kabar gembira tentang Yesus keluar dari Yerusalem melalui Yudea dan Samaria, dan kemudian sampai ujung dunia. Kabar gembira yang pernah ditolak oleh orang Samaria (Luk 9:53), kini telah berubah menjadi penerimaan. Bukan hanya menerima, mereka juga menjadi sarana pewartaan. Di lain kesempatan, Para Rasul juga bergembira karena tanah Samaria telah menerima firman Allah yang disampaikan oleh Filipus (Kis 8:4-25). Karena hal ini, mereka mengutus Petrus dan Yohanes untuk menganugerahkan Roh Kudus sebagai penegasan bahwa orang Samaria telah menjadi bagian dari Kerajaan Yesus.
Yohanes dan Yakobus yang ingin menurunkan api bagi perkampungan Samaria (Luk 9:54), kini telah terlaksana. Bukan api kebinasaan, tetapi api Roh Kudus dan api keselamatan.

Daftar Pustaka
Douglas, J.D. (ed.). 1995. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 2. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Marsunu, Y.M.S. 2010. Orang Samaria. Wacana Biblika. Volume 10 (No. 2): hlm. 83.
Walker, Peter. 2010. In The Steps of Jesus. Yogyakarta: Kanisius.

2 komentar: