Hidup Persaudaraan
Beato Titus Brandsma
Oleh:
Fr. Marianus Ivo Meidinata, O.Carm.
Hidup persaudaraan adalah buah dari
hidup doa yang dilakukan oleh setiap orang, termasuk juga Titus Brandsma. Hidup
doanya tidak membuat dia melayang menjauhi dunia, namun dia semakin dekat
dengan dunia nyata dan orang-orang di sekitarnya. Persaudaraan sekaligus
menjadi batu uji, untuk melihat seberapa kuat hidup doa yang telah
dilakukannya. Persaudaraan menjadi tanda nyata akan hadirnya hidup yang dekat
dengan Allah.
Persaudaraan dalam
Komunitas
Titus Brandsma adalah seorang Karmelit
yang mampu menghidupi nilai persaudaraan dalam komunitas. Persaudaraannya
diwujudkan dengan hidup kebersamaan yang disiplin. Menurutnya, melakukan
aktifitas bersama merupakan salah satu cara yang baik dalam menjaga keutuhan
persaudaraan. Dalam kesehariaannya, Titus selalu mengusahakan makan, rekreasi,
ibadat secara bersama. Bahkan ketika tugas atau pekerjaan sekolah begitu banyak
menumpuk, dia tetap menyempatkan waktu untuk rekreasi bersama. Dalam kondisi
lelah sepulang berkarya, dia tetap mengikuti kegiatan komunitas.
Persaudaraan Titus Brandsma bukan hanya
mencangkup bersama-sama dalam segi jasmani, meskipun itu juga penting.
Kehidupan persaudaraan Titus Brandsma, pertama-tama karena dia ingin menjalin
persaudaraan dalam perjuangan menapaki panggilan. Panggilan menapaki Gunung
Karmel itulah yang menjadi tujuan Titus Brandsma dalam persaudaraan yang nyata.
Dia ingin supaya sebagai anggota Ordo Karmel, siapa pun mampu berjalan bersama
menghidupi panggilan Karmel. Titus sebagai seorang dosen sekaligus rektor,
tetap bergaul dengan Karmelit muda yang adalah mahasiswanya. Dia menasehati dan
selalu mengusahakan hidup dalam kebersamaan. Tujuannya supaya Karmelit mampu
berjalan dan berjuang bersama mencapai Gunung Karmel tanpa membedakan satu sama
lain.
Persaudaraan bagi
sesama
Persaudaraan Titus Brandsma tidak
berhenti di dalam komunitas saja. Hidupnya di luar biara Karmel juga diwarnai
dengan Persaudaraan. Persaudaraannya diwujudkan dengan sikap perhatiannya pada
sesama, terutama kepada mereka yang miskin dan menderita. Dia sungguh mengikuti
apa yang diteladankan oleh Tuhan Yesus, hidup dalam perhatian kepada yang
miskin dan menderita. Hidup persaudaraannya diwujudkan dengan kesediaannya
mengunjungi yang miskin tanpa berharap mendapatkan sesuatu. Baginya, melihat
orang yang miskin dan menderita tersenyum adalah kebahagiaan dalam hidup
persaudaraannya.
Tindakannya ini membuat Titus mendapat
perhatian dari orang lain. Dia menyadari bahwa tindakan persaudaraannya
membuahkan perhatian dari orang lain untuknya. Dia selalu menghargai perhatian
yang diberikan orang lain kepadanya. Namun dia tidak pernah menuntut orang lain
untuk memperhatikannya. Menurutnya, menjadikan orang lain saudara adalah sebuah
pilihan yang didorong oleh semangat Karmel dalam dirinya. Bukan karena ingin
mendapatkan sesuatu dari orang-orang yang memberi keuntungan. Tetapi
sebaliknya, memberikan rasa persaudaraan kepada orang di sekitar, bagaikan
lebah-lebah yang siap membagikan madu-madu olahannya.
Terlihat bahwa dalam hidup bersaudara,
Titus tidak membeda-bedakan orang. Baginya semua manusia itu sama, yang adalah
ciptaan Allah. Perhatian dan kepeduliaanya diberikannya bagi semua tanpa
melihat status dan siapa orang itu. Itulah persaudaraan yang sejati, yang mana
kita melakukan hal-hal baik tanpa melihat siapa orang yang menerimanya.
Menerjang Liku
Persaudaraan
Semangat persaudaraan juga dilakukannya
pada mereka yang membenci maupun yang tidak sepaham dengannya. Perilaku Titus
tidak sepenuhnya disukai oleh orang lain. Salah satu contohnya adalah Dr.
Eugenius Dierssen, seorang Karmelit yang hidup bersama Titus dalam dunia
pendidikan. Dia membenci Titus karena sikapnya yang selalu ingin tahu. Sering
ketika perilaku Titus tidak sesuai dengan keinginannya, Eugenius dengan segera mengeluarkan
amarahnya. Titus yang menyadari pentingnya persaudaraan dalam komunitas
berusaha menahan diri dan mengalah. Sikap menahan diri dan mengalah inilah yang
membuat persaudaraan mereka berangsur-angsur membaik dan akhirnya Eugenius
mendukung kerja dan usaha Titus di universitas. Kita perlu mengetahui bahwa
sikap menahan diri dan mengalah ini bukanlah sebuah kelemahan. Titus mendasari
sikapnya ini dengan kemampuannya memahami dan menerima kondisi dan situasi orang
lain.
Titus menyadari bahwa tidak semua orang
itu sama dan dia harus menerima perpedaan itu. Dia menulis, “ Allah tidak
menginginkan segala sesuatunya sama. Ada saat-saat dimana orang harus menerima
sesuatu yang dapat mengubah mereka, bukan dalam semangat pemberontakan tetapi
dalam semangat cinta kasih sejati.” Cinta kasih sejati adalah penopang
persaudaraan yang kita lakukan.
Sikap bersaudara juga dia berikan bagi
mereka yang menganiayanya yaitu Nazi. Dia tidak pernah berkata kasar dan
menyimpan dendam kepada mereka. Ketika diperlakukan kasar, dia menerima dengan
hati tulus dan tanpa kebencian. Salah satu tindakan persaudaraan ditunjukkannya
dengan memberikan rosario kepada suster yang menyuntiknya dengan cairan beracun.
Dia mengetahui bahwa Nazi sungguh membencinya. Namun Titus tidak membalasnya
dengan rasa benci.
Jiwa persaudaraan Karmel yang telah
membentuknya, sungguh menguasai hidupnya. Persaudaraan Karmel telah merasukinya
sehingga dia tidak memiliki kuasa lagi untuk melihat orang-orang yang membencinya
sebagai musuh. Titus melihat orang-orang yang membencinya juga sebagai seorang
saudara. Betapapun besar kebencian orang lain kepada dirinya, dia tetap
mencintai mereka sebagai saudara.
Penutup
Segala tindakannya bagi orang lain
adalah perwujudan kasihnya bagi Allah. Allah hadir dalam pribadi mereka. Dia
berpegang pada ayat dalam Kitab Suci, “Orang yang tidak mengasihi saudaranya
yang dapat dilihatnya tidak dapat mengasihi Allah yang tidak dapat dilihatnya”
(1 Yoh 4: 20). Mencintai orang lain sebagai saudara adalah wujud nyata
mencintai Allah. Persaudaraan adalah langkah-langkah kecil menuju puncak Gunung
Karmel, yaitu Allah dan Juru Selamat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar