Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Minggu, 16 September 2018

Santa Zita

Santa Zita
(Oleh: Fr. Marianus Ivo Meidinata, O.Carm.)

Zita lahir di Monte Sagrati, Italia Tengah, pada tahun 1218. Pada umur dua belas tahun Zita pergi ke Lucca untuk bekerja sebagai pelayan dalam usaha tekstil. Setiap harinya Zita selalu mengikuti Perayaan Ekaristi dan berdoa di malam hari. Dia juga sering membagikan makanan yang dimilikinya kepada para miskin. Bahkan kasur milikinya rela diberikannya kepada seorang pengemis. Sungguh, dia seorang yang murah hati dan penuh belas kasih.
Namun demikian, dia harus menanggung banyak beban dari sesama pelayan. Mereka menghina cara hidupnya dan ketekunannya dalam bekerja. Zita menanggung semua cobaan-cobaan itu tanpa mengeluh.
Bagi Zita, pekerjaannya merupakan bagian dari hidup rohani atau agamanya. Oleh karena ketekunan dan perhatiannya,  Zita diangkat menjadi kepala pengurus rumah tangga. Walaupun dia dipercaya oleh majikannya, dia juga pernah dimarahi oleh majikannya. Hal ini dikarenakan, Zita mengambil makanan dan pakaian yang ada di rumah majikannya untuk dibagikannya kepada kaum miskin. Namun akhirnya, majikannya memahami maksud Zita tersebut dan turut menambah bantuan bagi kaum miskin.
Zita menjadi teman dan penasihat bagi keluarga majikannya. Di tahun-tahun terakhir hidupnya, dia dibebaskan dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga dia bebas mengunjungi orang-orang sakit, miskin, maupun mereka yang ada dalam penjara. Zita mempunyai perhatian khusus terhadap para narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Dia berdoa berjam-jam bagi mereka. Zita meninggal di Lucca pada 27 April 1278. Dan Pada tahun 1696, ia digelari "kudus" oleh Paus Innocentio XII (1691-1700).
Dalam hidupnya, Santa Zita tidak memisahkan hidup rohani dan doa dari pekerjaan. Relasi pribadinya dengan Tuhan menjadi dasar seluruh aktifitas dan hidupnya. Pekerjaan menjadi ungkapan cintanya pada Tuhan. Cintanya yang tulus pada Tuhan membuatnya setiap saat dan di mana pun selalu mencari dan melakukan apa yang menyenangkan-Nya.
(dalam RUAH edisi April 2018)
Sumber:
Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, Jakarta: Obor, 1997, hlm. 198.
http://artikel.sabda.org/santa_zita_pelindung_para_pelayan_rumah_tangga

Santa Rita

Santa Rita

     Rita lahir di Roccaporena, Italia pada tahun 1381. Orang tuanya, Antonio dan Amata Lott amat bersukacita dengan kelahirannya. Sejak kecil, ia seringkali berkunjung ke biarawati Agustinian di Cascia dan bermimpi pada suatu hari nanti menjadi bagian dari komunitas mereka. Keinginannya untuk menjadi biarawati ordo itu sudah bersemi semenjak masa kecilnya, namun karena hormat dan ketaatannya kepada orang tuanya, ia menikah dengan seorang pemuda yang disenangi orang tuanya.
Setelah menjalani masa pernikahan selama 18 tahun, suaminya meninggal akibat dibunuh orang dan juga kedua anaknya dalam waktu yang singkat. Akhirnya ia pun memutuskan untuk masuk biara. Permohonannya untuk menjadi biarawati Ordo Agustinus tidak cepat dikabulkan oleh pemimpin ordo, mengingat statusnya yang sudah menjalani hidup perkawinan. Melalui proses pertimbangan yang panjang, akhirnya aturan-aturan biara yang sangat keras itu diperlonggar. Dan Rita diterima sebagai anggota dalam ordo itu.
Kehidupan seorang biarawati dijalaninya dengan sepenuh hati. Ia menghayati kehidupan biara dengan sungguh-sungguh, taat, disiplin diri dan ramah terhadap semua orang. Ia merawat semua biarawati, rekannya, yang jatuh sakit dan berdoa bagi semua orang kristen yang telah lama meninggalkan Gereja. Dengan cinta yang murni, dia ingin lebih dekat bergabung dengan penderitaan-penebusan Yesus, dan hasratnya ini terpuaskan dengan cara yang luar biasa. Suatu hari ketika usianya sekitar enam puluh tahun, dia bermeditasi di depan gambar Kristus yang disalibkan. Tiba-tiba sebuah luka kecil muncul di keningnya, seolah duri dari mahkota yang mengelilingi kepala Kristus terlepas dan menembus tubuhnya. Selama lima belas tahun berikutnya dia melahirkan tanda stigmatisasi dan persatuan dengan Tuhan. Di akhir hidupnya, ia mengatakan “Tetaplah dalam kasih kudus Yesus. Tetaplah patuh pada Gereja Roma yang kudus. Tetaplah dalam kedamaian dan cinta kasih persaudaraan.” Ia meninggal pada tanggal 22 Mei 1457 di biara Cascia dan diangkat menjadi pelindung orang-orang yang mengalami masalah-masalah berat dan penasehat orang yang putus asa.
(Fr. Ignasius Putra Bagus Kurniawan, O.Carm. dalam RUAH edisi Mei 2018)

Sumber bahan :
Mgr. Nicolas martinus Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, Jakarta: Obor, 1997, hlm. 248.

St. Nereus dan Akhilleus

St. Nereus dan Akhilleus

St. Nereus dan Akhilleus adalah kakak beradik yang mengabdi sebagai tentara pasukan kekaisaran Romawi dari kelompok Praetorian Guard (Pelindung Kaisar). Tradisi mengatakan bahwa mereka dibaptis oleh Santo Petrus sendiri. Melalui pembaptisan akhirnya mereka memutuskan untuk melepaskan pedang mereka, dan meninggalkan cara hidup yang lama. Menjadi seorang Kristiani, ternyata membuat mereka mengalami pengejaran, hingga akhrinya mereka ditangkap lalu diasingkan ke pulau Ponza. Akhirnya, mereka pun dieksekusi mati dengan dipenggal pada era kekuasaan kaisar Trajan. Mereka merelakan nyawanya sebagai martir Kristus pada abad-abad pertama kekristenan. Menurut Tradisi mereka meninggal pada tahun 304 M di pulau Terracina, Italia.
Paus Damasus menuliskan: “Mereka telah meninggalakan kemah kelaliman pemimpin mereka. Mereka melepaskan perisai, pedang, baju perang dan tombak mereka demi mengikuti Kristus. Keajaiban iman telah membuat mereka menjadi pemenang dalam kemuliaan bersama Kristus. Mereka akhirnya bahagia telah menjadi martir bagi Kristus.”
Untuk menghormati kedua martir ini, pada tahun 398, Santo Paus Siricius mendirikan sebuah gereja di Roma demi menghormati mereka. Pada abad keenam, sebuah gereja kedua dibangun di bagian lain Roma demi menghormati kedua martir ini (The basilica of Saints Nereus and Achilleus  di Via delle Terme di Caracalla Roma Italia).
Mereka telah mengajar kita untuk menjadi warga gereja yang sejati. Mereka sungguh rela berkorban demi Kristus. Salib Kristus berupa; pengejaran, penangkapan, hingga pengasingan, telah mereka pikul dengan rela. Bahkan meraka pun tidak takut kehilangan nyawa demi Kristus. Beranikah kita berbalik dari cara hidup kita yang lama dan sungguh mengikuti Kristus dengan sepenuh hati? Maukah kita memikul salib kita sehari-hari sebagai ungkapan cinta kita kepada Kristus?
(Fr. Alphonsus Christ Setiawan, O.Carm. dalam RUAH edisi Mei 2018.)

Sumber:

Santo Paulinus dari Nola

Santo Paulinus dari Nola


Santo Paulinus Lahir dari keluarga bangsawan Romawi di Bordeaux, Prancis dengan nama Pontius Meropius Anicius Paulinus pada tahun 353. Paulinus lahir dari keluarga politikus non-Kristiani. Banyak dari keluarganya yang berasal dari Spanyol adalah senator. Paulinus memiliki bakat di bidang pidato dan penyair masyhur. Paulinus belajar banyak dari Ausonius. St.Hieronimus dan St.Agustinus adalah pengagum karyanya. Jabatan Gubernur Nola disandangnya di usia yang terbilang muda. Dalam keadaan yang bergelimang harta, ia menikahi Therasia seorang wanita Spanyol.
Pengalaman imannya dimulai di kota Nola.Paulinus melihat ribuan orang dengan tekun datang ke makam Santo Feliks untuk merenungkan teladan hidup St.Feliks, seorang martir. Paulinus terharu. Paulinus menerima sakramen permandian oleh Uskup Delphinus di tanah kelahirannya.Sejak dipermandikan, Paulinusmerasakan kesusahan dan penderitaan menimpanya. Anak tunggalnya yang meninggal membuat hatinya semakin kalut. Pengalamannya pahit membawanya untuk memohon nasihat dari St Hieronimus. Nasihat yang didapatnya dari St. Hieronimus adalah “Putuskanlah hubungan dengan dunia dan pelajarilah Kitab Suci!”. Paulinus bersama istrinya kemudian menjalani kemurnian untuk Tuhan dan membagikan harta kekayaannya. Ia menjalani hidupnya dengan sangat bijaksana, penuh bakti kepada Tuhan dan sesama. Pengalaman imannya membawanya sampai pada pengertian, “Manusia tanpa Kristus adalah debu dan bayangan semata”.
Paulinus menjadi Imam di Barcelona pada tahun 395, kemudian kembali ke Nola untuk menjalani hidup sebagai biarawan. Hartanya digunakan untuk membangun gereja. Pada tahun  409 Paulinus menjadi Uskup Nola.Dengan bijaksana dan penuh cinta kasih ia membimbing umatnya. Selain untuk membangun gereja, Paulinus mendermakan hartanya untuk menebus umat yang ditangkap dan diperbudak. Paulinus juga menyerahkan dirinya untuk dipenjarakan sebagai ganti umatnya, meskipun kemudian ia dibebaskan. Setelah mengabdikan dirinya kepada Tuhan dan sesama, Paulinus meninggal pada tahun 431.
Marilah kita meneladan St.Paulinus. Sebagai orang Kristiani,pengalaman iman juga kerapkali kita alami. Hal ini tentunya membuat kita mengerti bahwa perjalanan iman tidaklah singkat dan mudah. Maka, kita juga memerlukan Kristus dalam diri kita agar tidak menjadi debu dan bayangan. Semoga pengalaman St.Paulinus tentang kesadaran akan pengalaman iman dapat membawa kita kepada persatuan dengan Kristus itu sendiri. (Fr. Michael Indrawan Tri Wicaksono, O.Carm. dalam RUAH edisi Juni 2018.)
Sumber:
Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, Jakarta: Obor, 1997.

Santo Yohanes Babtista de la Sale

Santo Yohanes Babtista de la Sale



Ia lahir di Reims, Prancis tanggal 7 April 1719. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Pendidikan awal keluarga berhasil memampukannya untuk menilai makna kekayaan keluarga sebagai suatu yang fana.  orang tuanya bercita-cita agar Babtista menjadi seorang ahli hukum. Tetapi ia ingin menjadi seorang imam.
Babtista menjalani pendidikan di seminari St. Sulpisius di Paris. Karena orangtuanya meninggal,  ia terpaksa meninggalkan seminari untuk mendampingi adik-adiknya. Setelah dua saudaranya menjadi imam dan saudarinya Rose Marie menjadi biarawati OSA, Babtista kembali memasuki pendidikan imam dan ditahbiskan menjadi imam di Reims tahun 1778. Sebagai imam baru, ia memiliki perhatian besar pada pendidikan orang miskin. ia mempunyai seorang rekan yaitu Pater Roland, adalah seorang imam yang saleh dan berminat sama.
Pater Roland mendirikan sekolah untuk anak-anak putri dan mengorganisir sekelompok guru dalam sebuah perkumpulan yang disebut perkupulan suster-suster dari kanak-kanak yesus. Babtista disuruh Pater Roland untuk membantu membina para suster. Sementara mengemban tugasnya, Nyonya Mailever (keluarga Babtista)  mempunyai keinginan untuk mendirikan sekolah untuk anak lelaki yang miskin di Reims. Babtista  merasa betapa pentingnya rencana itu, dan akhirnya dibuka sebuah sekolah kecil di Paroki St. Maurisius tanggal 15 April 1670. Babtista sebagai seorang guru yang tulen, bersikap tegas. Ia mendidik guru-guru muda menjadi  tangguh, beriman, ramah dan bertanggung jawab. Pada 24 juni 1680, Babtista mendirikan perkumpulan Bruder sekolah-sekolah Kristen. Lembaga pendidikannya tersebar di Paris, di Sint Denis (1709) dan diterima oleh Takhta Suci pada tahun 1725.
Babtista dikenal sebagai imam yang baik hati dan pendidik terbaik sepanjang masa. Ia rajin berdoa dan bertapa. Kepemimpinan atas tarekat yang didirikannya diserahkan kepada seorang Bruder muridnya. Ia sendiri memusatkan kehidupan rohani dan menulis banyak buku pendidikan. Setelah lama mengabdi gereja, Babtista meninggal pada 7 April 1719, tepat pada hari Jumat Agung. Ia digelari kudus oleh Paus Leo XIII pada tahun 1900. Dan dinyatakan sebagai pelindung para penajar pada tahun 1950.

Renungan
Semakin sederhana dan bersahaya peribadimu, semakin engkau diperhatikan Tuhan. Semakin orang sombong dan merasa semua hal dapat di beli dan diatur, semakin Tuhan membiarkannya dalam  kesulitan, supaya belajar. 
(Fr. J. Feri Sandria Sipayung, O.Carm. dalam RUAH edisi April 2018)

sumber:
Mgr.Nicolas Martinus Schneiders, orang kudus sepanjang tahun, Jakarta: Obor,1997;
http://catolicism.org/saint yohanes babtist-de-la-salle.html.

ST ALICE

SANTA ALICE

Alice lahir di Shaerbeck pada tahun 1204. Shaerbeck adalah kota kecil dekat Brussels di Belgia. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik, pandai, dan memiliki cinta yang besar kepada Tuhan. Namun, dia adalah gadis yang lemah. Pada usia tujuh tahun, dia memilih untuk bergabung dengan biara Cistercian La Cambre hingga akhir hidupnya.
Alice menjadi seorang biarawati yang memiliki sikap rendah hati. Namun, saat berada di biara, dia terjangkit penyakit kusta. Penyakit ini membuatnya harus diisolasi. Dia pun menjadi lumpuh dan buta akibat penyakit ini. Penderitaan hebat ini oleh Alice diintensikan bagi keselamatan orang-orang berdosa dan jiwa-jiwa di api penyucian.
Alice dikenal karena kerendahan hatinya. Anggota komunitas Cistercian sungguh menghormatinya dan terinspirasi olehnya. Dia mendapat anugerah penglihatan dari Tuhan. Tuhan menampakkan diri kepadanya dan menyuruhnya agar tidak khawatir terhadap sakit yang dia derita. Tuhan berjanji akan menyelamatkannya di surga. Semenjak itu, Alice sering mengalami penglihatan dan dia bersyukur atas anugerah itu. Kehidupan Alice menjadi sangat spiritual karena berefleksi secara mendalam tentang penglihatan-penglihatan yang dia alami.
Penghiburan terbesar Alice berasal dari penerimaan Ekaristi Kudus. Dia tidak diizinkan minum dari piala karena alasan kesehatan. Namun, Tuhan menguatkan hati Alice bahwa menerima roti saja sudah cukup. Tuhan menampakkan diri kepada Alice dan Alice yakin bahwa Dia berada di roti dan anggur yang telah dikuduskan.
Pengalaman penglihatan dan ekstasi menjadi pengalaman rohani Alice yang sungguh luar biasa. Dia meninggal pada 11 Juni 1250 ketika berusia 46 tahun dan dia dikanonisasi pada tahun 1907 oleh Paus Pius X. Pestanya dirayakan setiap tahun pada tanggal 15 Juni dan dia adalah pelindung orang buta dan lumpuh.

[Fr. Ignasius Anang Setia Darmanto, O.Carm. dalam RUAH edisi Juni 2018]