Ivo art

Ivo art
Tobit 13

Selasa, 21 Februari 2017

Kaul Ketaatan - Hidup dan Ajaran St. Maria Magdalena de Pazzi

Kaul Ketaatan
menurut Hidup dan Ajaran St. Maria Magdalena de Pazzi

“Tiga kaul kebiaraan adalah anugerah besar yang diberikan Allah kepada mereka yang terpanggil”
St. Maria Magdalena de Pazzi memiliki penghayatan akan 3 kaul kebiaraan yang mendalam dalam hidup dan ajarannya. Dia begitu mencintai dan menghargai 3 kaul kebiaraan. Baginya siapa pun yang telah mengikrarkan kaul, seperti anak desa miskin yang dinikahi oleh seorang raja/ penguasa setempat, sehingga segala sesuatunya akan terpenuhi.
Dia menghendaki agar mereka yang menghidupi kaul kebiaraan sungguh memeliharanya. Sebab kaul tersebut merupakan kurban hidup yang dipersembahkan bagi Allah dan sebagai sarana meluhurkan-menghormatiNya. Melalui kurban inilah kesatuan dengan Allah akan tercapai dan jalan terang menuju surga semakin terbuka.
Maka dari itu, mari kita sejenak melihat hidup dan ajarannya tentang kaul kebiaraan, khususnya pada artikel ini tentang kaul ketaatan. Mari kita melihat bagaimana ajaran dan hidupnya tentang kaul ketaatannya pada pemimpin sebagai wakil dari Allah dan segala makna akan kaul ketaatan ini.

Ketaatan kepada Allah
Ketaatan itu seperti sikap anak kecil kepada ibunya. Anak kecil tidak mau menerima makanan selain daripada ibunya. Seperti itulah kamu yang tidak mau ‘makan’ selain dari Allah”
St. Maria Magdalena de Pazzi menghidupi kaul ketaatan sebagai bagian dari menghormati Allah Bapa. Dia meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya yang perlu kita taati. Jika bukan Dia lalu kepada siapa kita akan taat? “Sudah selayaknya anak mentaati Bapanya”, demikian yang dia katakan. Allah Bapa adalah sumber dan tujuan kataatan kaum biarawan. Hidupnya telah diserahkan kepada Allah. Allah adalah tujuan dan segala hidup kita. Hal inilah yang membuat kaul ketaatan perlu dihayati sebagai sarana menghormati Allah Bapa, sumber dan tujuan hidup kita.
Dalam kehidupan membiara, St. Maria Magdalena meyakini bahwa Allah hadir dalam diri pemimpin biara. Allah yang tidak kelihatan, menjadi kelihatan berkat kehadiran pemimpin biara. Keyakinan inilah yang membuat dia taat kepada kepada suster pimpinannya dengan memberikan diri untuk diatur dan digunakan sesuai dengan kehendak pimpinan. Kehendak pimpinan adalah kehendak Allah. Selain Allah yang hadir dalam diri pimpinan, Allah pun ada dalam setiap perkataan yang diucapkan oleh pimpinan nya. Dia percaya dan yakin bahwa perkataan itu adalah perkataan Allah sendiri. Bahkan ketika dilarang untuk bermatiraga dan berdoa karena suatu hal, dia pun taat mengikuti walaupun hal itu merupakan kerinduannya untuk berkorban demi Allah. Baginya semua itu luhur dan berguna bagi perkembangan hidupnya.
Allah datang untuk membimbingnya. Lewat pemimpin biara inilah, kita perlu meyakini bahwa Allah nyata dan ada dalam hidup kita. Dia membimbing kita lewat pemimpin biara yang setia mendampingi dan peduli akan keberlangsungan hidup kita. Maka dari itu, hendaknya kita juga taat jika pemimpin biara menghendaki sesuatu hal dari diri kita. Allah menghendaki supaya kita berkembang dan bertumbuh lewat segala sesuatu yang dikehendaki dari kita.

Ketaatan untuk Menerima Penderitaan
Ketaatan itu seperti sikap anak kecil kepada ibunya. Anak kecil tidak mau menerima makanan selain daripada ibunya. Seperti itulah kamu yang tidak mau ‘makan’ selain dari Allah”
St. Maria Magdalena de Pazzi yang telah ‘makan’ dari ketaatan kepada Bapa, membawanya bersatu dengan Yesus yang juga telah ‘makan’ dari ketaatan kepada Bapa. Ketaatannya inilah yang membawanya kepada persatuan dengan Yesus Sang Putera. Dia mengungkapkan bahwa ketaatan adalah sarana bersatu dengan Yesus. Santa Maria Magdalena mengimani sabda Yesus yang berkata bahwa siapa saja yang makan sehidangan denganNya, akan tinggal dalam diriNya. Makanan itu termasuk ketaatan. Hal inilah yang membuat dia yakin bahwa ketaatan adalah sarana baginya untuk bersatu dengan Yesus.
Ketaatan ini bukanlah suatu hal yang gampang. Dia pernah mengalami kesedihan ketika dia melaksanakan ketaatan yang cukup berat. Dia bergulat dengan dirinya, namun dia mencoba untuk kuat. Dia merasa menderita namun dia tidak mengeluh. Dia tetap setia melaksanakan dan yakin bahwa Allah akan menghibur. Pengalaman itulah yang juga diajarkannya bahwa Allah akan memberikan kedamaian kepada mereka yang mau taat kepadaNya.
Ketaatan ini juga diuji ketika dia mengalami penyakit yang misterius sampai akhirnya dia menerima anugerah pengalaman rohani yang bertubi-tubi. Dia harus taat untuk menerima itu semua. Bahkan sampai akhirnya, dia menerima 8 pencobaan yang menggoyahkan iman dan kepercayaannya. Dia menderita namun dia berusaha untuk kuat. Sampai akhirnya Allah sendiri yang bersabda kepadanya, “ Jangan takut, meskipun musuh-musuhmu menjadi kuat, kamu masih akan tetap setia. Dan bahkan kalaupun mereka mendatangimu seperti binatang yang sangat kuat, janganlah takut. Dan jika mereka tampak sebagai ular yang banyak, kamu masih akan mampu mengusir mereka.”
Dalam pengalaman-pengalamannya itu, dia amat menyatu dengan Kristus yang menderita. Hal ini membawanya kepada kesadaran dan pilihan untuk taat menerima penderitaan dalam persatuan bersama Kristus. Dia memilih penderitaan, dan bukan kematian. Orang mati tidak merasakan penderitaan. Magdalena tidak takut akan kematian, tetapi juga tidak lari dari penderitaan. Dia lebih memilih taat untuk menderita, sebab dari penderitaan ini dia menanggungnya dalam ketaatan kepada Bapa, seperti Yesus juga taat untuk menderita kepada Bapa.
Yesus taat kepada BapaNya, kita pun selayaknya makan dari ‘ketaatan’ itu. St. Maria Magdalena de Pazzi memberi teladan kepada kita untuk berani taat kepada Bapa, walaupun itu menyiksa kita. Bukankah penderitaan itu memurnikan diri kita? Hal inilah yang perlu kita ingat, bahwa penderitaan akan memurnikan iman kita. Iman kita samakin dimurnikan ketika kita semakin dekat dengan Yesus. Sebab lewat penderitaan itu kita juga semakin dipersatukan dengan Yesus dan hal itu berarti kita semakin dimurnikan dengan darah penderitaan Kristus. Maka dari itu, lebih baik berani menderita demi ketaatan kepada Bapa dari pada memilih mati dan terpisah dari penderitaan Kristus.

Ketaatan sebagai wujud dari doa
“Apa yang saya lakukan demi ketaatan, itu merupakan sebuah doa”
Itulah sepenggal perkataan St. Maria Magdalena de Pazzi ketika dia melakukan ketaatan kepada suster pimpinannya. Dia menempatkan nilai ketaatan sebagai sebuah wujud dari doa. Doa yang hidup adalah doa yang dilakukan dalam ketaatan. Doa adalah wujud relasi manusia dengan Allah. Ketaatan juga wujud dari sebuah relasi. Maka dari itu, benar bahwa ketaatan adalah wujud dari sebuah doa, karena dalam nilai tersebut tercantum sebuah relasi hidup antara manusia dengan Allah.
Doa merupakan penyerahan diri kepada Allah. Maka dari itu, ketika Maria Magdalena melakukan ketaatan, berarti dia telah percaya kepada Allah. Kepercayaannya untuk mengikuti pimpinan dan tidak mengikuti egoisme pribadi adalah sebuah penyerahan kepada Allah. Itulah wujud dari doa.
Dalam kaul ketaatan, St. Maria Magdalena de Pazzi menanamkan rasa kurang pantas jika dia mengikuti keinginan diri, sehingga dia melaksanakan apa yang dikehendaki pemimpin biaranya dengan tulus, ikhlas dan rendah hati. “Tindakan sepele yang dikerjakan kurang sempurna lebih berkenan bagi Allah, daripada tindakan sempurna yang berdasarkan egoisme pribadi”, demikian dia sering berpikir. Baginya pekerjaan besar atau kecil itu sama saja, yang terpenting tetap sikap taat yang dihidupi. Itulah ketaatan yang membangun sebuah pondasi dari doa.
Sejak masuk biara dia telah mampu mentaati perkataan suster pimpinan untuk mengerjakan pekerjaan hina dan sepele bagi seorang anak bangsawan, seperti mengepel dan mencuci piring. Taat bukanlah dalam fisik saja namun juga dalam hati. Allah akan setia kepada mereka yang taat. Allah juga akan memberikan imbalan yang sepantasnya bagi mereka yang taat, salah satunya sebuah ‘mahkota’ yang membuat seseorang lebih pantas merayakan perayaan Ekaristi.
St. Maria Magdalena de Pazzi mengajarkan bahwa tindakan menuruti diri sendiri akan terus menggoda. Ada kalanya manusia terjerumus pada kesalahan ini. Namun Allah tidak akan menghilangkan kesetiaannya, asal ada kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuat.
Ketaatan adalah wujud dari doa. Hendaklah kita juga berusaha menanamkan ketaatan kepada pimpinan kita. Hal itu berarti bahwa kita sudah sepenuhnya percaya kepada segala perkataan dan kehendak yang diberikan kepada kita. Kepercayaan inilah yang membangun sebuah relasi yang hidup antara kita dengan pimpinan kita, antara kita dengan Allah. Kepercayaan inilah yang disebut oleh St. Maria Magdalena de Pazzi sebagai sebuah doa.



Hidup Persaudaraan Beato Titus Brandsma

Hidup Persaudaraan Beato Titus Brandsma
Oleh: Fr. Marianus Ivo Meidinata, O.Carm.

Hidup persaudaraan adalah buah dari hidup doa yang dilakukan oleh setiap orang, termasuk juga Titus Brandsma. Hidup doanya tidak membuat dia melayang menjauhi dunia, namun dia semakin dekat dengan dunia nyata dan orang-orang di sekitarnya. Persaudaraan sekaligus menjadi batu uji, untuk melihat seberapa kuat hidup doa yang telah dilakukannya. Persaudaraan menjadi tanda nyata akan hadirnya hidup yang dekat dengan Allah.

Persaudaraan dalam Komunitas
Titus Brandsma adalah seorang Karmelit yang mampu menghidupi nilai persaudaraan dalam komunitas. Persaudaraannya diwujudkan dengan hidup kebersamaan yang disiplin. Menurutnya, melakukan aktifitas bersama merupakan salah satu cara yang baik dalam menjaga keutuhan persaudaraan. Dalam kesehariaannya, Titus selalu mengusahakan makan, rekreasi, ibadat secara bersama. Bahkan ketika tugas atau pekerjaan sekolah begitu banyak menumpuk, dia tetap menyempatkan waktu untuk rekreasi bersama. Dalam kondisi lelah sepulang berkarya, dia tetap mengikuti kegiatan komunitas.
Persaudaraan Titus Brandsma bukan hanya mencangkup bersama-sama dalam segi jasmani, meskipun itu juga penting. Kehidupan persaudaraan Titus Brandsma, pertama-tama karena dia ingin menjalin persaudaraan dalam perjuangan menapaki panggilan. Panggilan menapaki Gunung Karmel itulah yang menjadi tujuan Titus Brandsma dalam persaudaraan yang nyata. Dia ingin supaya sebagai anggota Ordo Karmel, siapa pun mampu berjalan bersama menghidupi panggilan Karmel. Titus sebagai seorang dosen sekaligus rektor, tetap bergaul dengan Karmelit muda yang adalah mahasiswanya. Dia menasehati dan selalu mengusahakan hidup dalam kebersamaan. Tujuannya supaya Karmelit mampu berjalan dan berjuang bersama mencapai Gunung Karmel tanpa membedakan satu sama lain.

Persaudaraan bagi sesama
Persaudaraan Titus Brandsma tidak berhenti di dalam komunitas saja. Hidupnya di luar biara Karmel juga diwarnai dengan Persaudaraan. Persaudaraannya diwujudkan dengan sikap perhatiannya pada sesama, terutama kepada mereka yang miskin dan menderita. Dia sungguh mengikuti apa yang diteladankan oleh Tuhan Yesus, hidup dalam perhatian kepada yang miskin dan menderita. Hidup persaudaraannya diwujudkan dengan kesediaannya mengunjungi yang miskin tanpa berharap mendapatkan sesuatu. Baginya, melihat orang yang miskin dan menderita tersenyum adalah kebahagiaan dalam hidup persaudaraannya.
Tindakannya ini membuat Titus mendapat perhatian dari orang lain. Dia menyadari bahwa tindakan persaudaraannya membuahkan perhatian dari orang lain untuknya. Dia selalu menghargai perhatian yang diberikan orang lain kepadanya. Namun dia tidak pernah menuntut orang lain untuk memperhatikannya. Menurutnya, menjadikan orang lain saudara adalah sebuah pilihan yang didorong oleh semangat Karmel dalam dirinya. Bukan karena ingin mendapatkan sesuatu dari orang-orang yang memberi keuntungan. Tetapi sebaliknya, memberikan rasa persaudaraan kepada orang di sekitar, bagaikan lebah-lebah yang siap membagikan madu-madu olahannya.
Terlihat bahwa dalam hidup bersaudara, Titus tidak membeda-bedakan orang. Baginya semua manusia itu sama, yang adalah ciptaan Allah. Perhatian dan kepeduliaanya diberikannya bagi semua tanpa melihat status dan siapa orang itu. Itulah persaudaraan yang sejati, yang mana kita melakukan hal-hal baik tanpa melihat siapa orang yang menerimanya.

Menerjang Liku Persaudaraan
Semangat persaudaraan juga dilakukannya pada mereka yang membenci maupun yang tidak sepaham dengannya. Perilaku Titus tidak sepenuhnya disukai oleh orang lain. Salah satu contohnya adalah Dr. Eugenius Dierssen, seorang Karmelit yang hidup bersama Titus dalam dunia pendidikan. Dia membenci Titus karena sikapnya yang selalu ingin tahu. Sering ketika perilaku Titus tidak sesuai dengan keinginannya, Eugenius dengan segera mengeluarkan amarahnya. Titus yang menyadari pentingnya persaudaraan dalam komunitas berusaha menahan diri dan mengalah. Sikap menahan diri dan mengalah inilah yang membuat persaudaraan mereka berangsur-angsur membaik dan akhirnya Eugenius mendukung kerja dan usaha Titus di universitas. Kita perlu mengetahui bahwa sikap menahan diri dan mengalah ini bukanlah sebuah kelemahan. Titus mendasari sikapnya ini dengan kemampuannya memahami dan menerima kondisi dan situasi orang lain.
Titus menyadari bahwa tidak semua orang itu sama dan dia harus menerima perpedaan itu. Dia menulis, “ Allah tidak menginginkan segala sesuatunya sama. Ada saat-saat dimana orang harus menerima sesuatu yang dapat mengubah mereka, bukan dalam semangat pemberontakan tetapi dalam semangat cinta kasih sejati.” Cinta kasih sejati adalah penopang persaudaraan yang kita lakukan.
Sikap bersaudara juga dia berikan bagi mereka yang menganiayanya yaitu Nazi. Dia tidak pernah berkata kasar dan menyimpan dendam kepada mereka. Ketika diperlakukan kasar, dia menerima dengan hati tulus dan tanpa kebencian. Salah satu tindakan persaudaraan ditunjukkannya dengan memberikan rosario kepada suster yang menyuntiknya dengan cairan beracun. Dia mengetahui bahwa Nazi sungguh membencinya. Namun Titus tidak membalasnya dengan rasa benci.
Jiwa persaudaraan Karmel yang telah membentuknya, sungguh menguasai hidupnya. Persaudaraan Karmel telah merasukinya sehingga dia tidak memiliki kuasa lagi untuk melihat orang-orang yang membencinya sebagai musuh. Titus melihat orang-orang yang membencinya juga sebagai seorang saudara. Betapapun besar kebencian orang lain kepada dirinya, dia tetap mencintai mereka sebagai saudara.

Penutup
Segala tindakannya bagi orang lain adalah perwujudan kasihnya bagi Allah. Allah hadir dalam pribadi mereka. Dia berpegang pada ayat dalam Kitab Suci, “Orang yang tidak mengasihi saudaranya yang dapat dilihatnya tidak dapat mengasihi Allah yang tidak dapat dilihatnya” (1 Yoh 4: 20). Mencintai orang lain sebagai saudara adalah wujud nyata mencintai Allah. Persaudaraan adalah langkah-langkah kecil menuju puncak Gunung Karmel, yaitu Allah dan Juru Selamat kita.


Beato Titus Brandsma


Prinsip Pelayanan Beato Titus Brandsma
Oleh: Marianus Ivo Meidinata, O.Carm.

Beato Titus Brandsma adalah teladan bagi para Karmelit dalam hidup pelayanan sehari-hari. Dalam hidupnya, pelayanan bukanlah hal yang asing. Selain melayani di komunitas dan tempat karyanya (misalnya di dunia pendidikan maupun jurnalistik), dia juga memberi pelayanan kepada mereka yang membutuhkan. Baginya semua orang berhak mendapat pelayanannya.

Melayani dengan Kasih
Titus Brandsma memiliki jiwa pelayanan yang didorong oleh kasih. Kasih menjadi keutamaan hidup yang menonjol dalam hidupnya. Hidupnya memancarkan  kasih yang sangat besar. Dapat dikatakan bahwa hidupnya adalah kasih. Kasih ini terwujud dalam tindakan sehari-hari yang dilakukannya untuk menolong sesama yang membutuhkan.
Henry Brandsma, seorang saudaranya mengatakan, “Kasihnya sungguh luar biasa. Dia sangat ingin menolong semua orang. Hamba Tuhan itu mewujudkan kasih sampai pada titik yang mengagumkan. Dia selalu  mencoba menjadi seorang yang bermanfaat bagi sesamanya.”
Suatu hari seorang penjual alat-alat tulis datang kepada Titus dan mengungkapkan segala kesulitannya dalam hal ekonomi. Titus sebagai pribadi yang penuh dengan kasih langsung membantunya dengan membeli barang-barang jualannya. Dengan penuh kasih, dia mencoba membantu orang yang membutuhkan. Dan bukan hanya penjual ini yang telah dia bantu, ada banyak orang miskin yang datang kepada Titus yang juga mendapat pertolongan dari Titus Brandsma. Dia sudah dikenal sebagai seorang figur yang penuh dengan kasih menolong siapa pun yang membutuhkan. Jiwa pelayanannya sungguh menonjol kepada mereka yang miskin dan papa.
Dia lebih suka menolong orang lain secara pribadi daripada menolong dalam kelompok sosial karitatif. Dia berpendapat bahwa membantu orang lain secara pribadi akan lebih memancarkan kasih kepada orang lain, daripada melalui kelompok sosial. Rasa dan suasana yang penuh kasih satu sama lain akan lebih terpancar ketika seseorang mampu membantu orang lain secara pribadi. Dalam hal ini akan muncul kasih yang memikat satu sama lain. Inilah ciri khas kasih Titus Brandsma.
Kasih yang terpancar dalam pelayanannya, juga terlihat dari penyangkalan diri yang dia lakukan. Ketika ada orang yang membutuhkan pertolongannya, dia akan tetap menolong walaupun dalam keadaan sibuk. Misalnya saja ketika dia sedang sibuk karena tugas di universitas, dia tetap dengan senang hati membantu orang lain yang membutuhkan walaupun itu membuang waktunya. Atau ketika dia berada di dalam tahanan, dia sering membantu oarng lain yang berkekurangan walaupun dia juga berkekurangan. Dia selalu memberi orang lain makanan, doa, maupun hal lain yang dibutuhkan. Bahkan sampai ajal hampir menjemputnya, dia masih setia memberikan pelayanan total kepada mereka yang membutuhkan. Sungguh, kasihnya menerjang segala hambatan dalam pelayanan.

Pelayanan Tanpa Pandang Bulu
Pelayanan Titus Brandsma juga dikenal sebagai pelayanan yang tidak membeda-bedakan. Dia melayani semua orang, mulai dari para petinggi sampai pada mereka yang terlantar. Pelayanannya tidak eksklusif kepada mereka yang memiliki kekayanan maupun kehormatan.
Titus Brandsma telah diberi banyak sarana melayani oleh Allah. Dia berkarya di dalam komunitas, dunia pendidikan, jurnalistik, Gereja, maupun dalam masyarakat. Allah memberi semua itu supaya Titus mampu melayani orang lain lebih luas, bukan hanya dalam komunitas tetapi lebih luas kepada masyarakat. Titus memanfaatkan semua sarana yang telah diberikan oleh Allah itu sebagai rahmat dalam melayani.
Dalam komunitas, dia tetap bertindak sebagai konfrater yang sederhana, tidak bertingkah seolah sudah menjadi konfrater yang unggul/ yang hanya berada di lingkaran para intelektual. Pelayanannya meluas mulai dari para novis sampai para petinggi ordo. Menarik ketika para novis meminta tolong kepada Titus, dengan sopan dan penuh perhatian dia melayani tanpa ada perasaan yang merendahkan. Bahkan dia begitu sopan kepada para novis. Hal ini terlihat ketika dia berjalan di depan para novis. Dia menundukkan kepala seakan para novis adalah sesama konfrater yang memiliki jabatan tinggi. Sungguh dia tidak membedakan status dan jabatan orang lain. Semua adalah sama di matanya.
Begitu pula ketika di unversitas, dia sering membantu para frater yang kesulitan dalam mengerjakan tugas. Dia rela membuang waktu hanya untuk membantu para frater yang kesulitan mengerjakan tugas. Betapa berharganya seorang frater di mata Titus Brandsma sehingga dia rela menyisihkan kesibukannya untuk membantu para frater.
Dalam Gereja, dia juga tidak memilih Gereja Katolik Roma maupun Gereja yang lain. Komitmennya kuat untuk mempersatukan semua Gereja. Dia meningkatkan relasi dialogis dan kerja sama dengan Gereja Kristen, baik reformis maupun timur. Seorang pendeta menggambarkan Titus sebagai  saudaranya yang terkasih. Dia mengungkapkan bahwa Titus Brandsma adalah suatu misteri rahmat. Sebenarnya bukan hanya kepada Gereja saja dia bertindak demikian, namun kepada semua elemen dalam kehidupan. Dia menunjukkan pelayanannya kepada Katolik, Protestan, ateis, maupun komunis. Seorang yang mengenal Titus mengungkapkan, “Saya kira Titus Brandsma tidak pernah mempersoalkan iman orang lain; baginya kami semua adalah sesama manusia.”
Pelayanannya yang dikenal masyarakat sebagai pelayanan tanpa pandang bulu adalah ketika dia menentang dikeluarkannya para murid keturunan Yahudi dari sekolah Katolik. Selain itu, dia juga pernah menolong seorang anak keturunan Armenia. Masih ada banyak lagi yang membuat dia dikenal sebagai figur teladan dalam memberi pelayanan kepada siapa pun. Pelayanannya menembus belenggu agama, kelas sosial, maupun segala belenggu perbedaan dalam masyarakat.

Nabi  Allah dan Gereja
Titus Brandsma adalah figur nabi dewasa ini. Dia adalah sosok yang patut dikatakan sebagai nabi, sebab segala tindakan yang dia lakukan sungguh mencerminkan tindakan seorang nabi. Segala pelayanannya dilakukan demi orang lain. Dan dalam hal ini dia melihat orang lain, sesamanya sebagai Allah dan Gereja. Dan pada akhirnya segala pelayanannya dipersembahkan untuk Allah dan Gereja.
Dalam pelayanannya, dia berkomitmen untuk melayani Allah dan Gereja. Dia menggunakan pelayanannya untuk menyebarkan iman Katolik. Penyebaran iman Katolik itulah yang dia persembahkan untuk melayani Allah dan Gereja. Kerasulan aktifnya dalam menyebarkan iman Katolik adalah wujud pelayanannya bagi Allah dan Gereja.
Dalam kehidupan sehari-hari, pelayanannya bagi orang lain adalah sarana untuk mewartakan Allah dan iman Katolik. Dia berusaha supaya pelayanan yang diberikan nantinya membuat orang mengenal dan merasakan kehadiran Allah dan iman yang dia miliki. “Pelayanan kita kepada sesama harus sangat menonjol”, demikian pernyataan yang sering dia ungkapkan. Baginya melayani sesama adalah sarana menyebarkan iman Katolik dan Allah sendiri. Sekaligus, pelayanannya bagi sesama dimaknainya sebagai pelayanan bagi Allah dan Gereja. Sebab Allah hadir dalam diri setiap orang, dan Gereja juga bertumbuh dalam diri setiap orang beriman.
Sebagai seorang jurnalis dia mewujudkan pelayanan kepada Allah dan Gereja lewat tulisan-tulisannya yang mengandung nilai Kristiani. Hal ini dilakukan supaya semakin banyak orang mengenal iman Katolik. Kegigihannya melayani Allah dan Gereja juga ditunjukkannya lewat pembelaannya terhadap Gereja atas serangan Nazi. Sampai akhirnya dia ditangkap oleh karena tulisannya yang menyudutkan Nazi. Dia gigih membela Gereja atas kecintaannya terhadap Allah. Pelayanannya total - penuh pengorbanan, tanpa takut  menyerahkan nyawanya.
Inilah puncak dari seluruh pelayanan yang diberikannya bagi sesama. Allah dan Gereja adalah tujuan utama pelayanannya. Dia sungguh seorang nabi yang rela mati demi Allah dan Gereja. Pelayanan bagi Allah dan Gereja perlu diutamakan, sebab dalam Allah dan Gereja, Titus Brandsma hidup. Dia hidup di hadirat Allah, dan dia hidup dalam Gereja. Dan akhirnya, dia pun ingin selalu melayani Allah dan Gereja, sumber dan tumpuan hidupnya.

Penutup

Itulah prinsip-prinsip pelayanan Beato Titus Brandsma. Karmelit dipanggil untuk mengikuti teladan hidup Beato Titus Brandsma. Dialah figur yang tepat bagi Karmelit zaman ini. Hidup di tengah dunia yang semakin kacau karena perkembangan zaman. 

Belajar Doa bersama Beato Titus Brandsma

          
                   Belajar Menjadi Pendoa
Bersama Beato Titus Brandsma
Oleh: Fr. Marianus Ivo Meidinata, O.Carm.

 “Seorang Karmelit harus bekerja dan belajar, berkotbah dan melakukan banyak kegiatan lain. Ia harus selalu membantu sesama. Akan tetapi semua pekerjaan yang dilakukan itu tidak boleh menjadi penghalang baginya untuk bersatu dengan Allah secara mesra. Itulah tujuan utama dari panggilannya. Tujuan untuk bersatu mesra dengan Allah tidak boleh diganti dengan tujuan lain.”
Beato Titus Brandsma

Sejak semula, para Karmelit dipanggil untuk memusatkan hidup pada doa. Mereka berkumpul dan bersatu dengan satu tujuan yang sama yaitu bersemuka dengan Allah dalam doa. Kenyataan inilah yang membuat mereka memiliki perhatian yang penuh pada doa. Jiwa inilah yang selalu tertanam dan tumbuh pada jiwa para Karmelit. Jiwa pendoa yang semakin mengakar seiring bertumbuhkan Ordo Karmel  di tengah Gereja.
Sebagai seorang Karmelit, Beato Titus Brandsma juga memiliki perhatian yang lebih dalam doa. Bahkan sejak awal panggilannya, dia memiliki ketertarikan dalam hidup doa. Hal inilah yang membuat dia tertarik dan memberanikan diri untuk masuk Ordo Karmel. Jiwa doa yang dia miliki ini, akhirnya  mendorongnya untuk menghidupi hidup doa dengan mendalam. Dia sadar bahwa doa adalah panggilannya. Baginya doa adalah suatu kehidupan.
Dalam hidupnya, Titus Brandsma tidak menunjukkan kehidupan doa yang mengagumkan atau menakjubkan. Hidup doanya adalah hidup doa yang sederhana, yang mungkin menurut kita adalah hidup doa yang biasa saja. Namun kita perlu belajar pada hidup doa Titus Brandsma yang biasa ini. Dia begitu setia dan penuh penghayatan menghidupi hidup doa yang biasa ini. Dia tidak mengharapkan untuk menjadi sama dengan St. Teresa Avila ‘guru’ doanya, khususnya dalam memperoleh karunia rohani yang agung. Baginya menghidupi doa dengan setia dan penuh panghayatan inilah yang perlu dilakukan bagi setiap Karmelit di zaman ini.

Berdoa sebagai Seorang Katolik
Dalam menghidupi hidup doa, dia tampak sebagai seorang Katolik sejati. Dia begitu setia mengikuti Perayaan Ekaristi. Walaupun sudah sekian lama hidup bersama Ekaristi, dia tidak bosan mengikutinya dan bahkan semakin berusaha menghayati lebih mendalam. Baginya Perayaan Ekaristi adalah nafas kehidupannya. Dan nafas kehidupan yang berasal dari tubuh dan darah Kristus. Setiap harinya, dia merasa memperoleh kekuatan untuk menjalani hidup.
Kitab Suci dan Ibadat harian adalah pegangan hidup dan penyemangat hidupnya. Dari sana, Titus menemukan sabda Allah yang berguna bagi jalan hidupnya. Karena hal ini, Titus selalu menyempatkan diri untuk membaca Kitab Suci setiap harinya. Di tengah segala kesibukan yang ada, dia akan selalu membaca Kitab Suci, entah itu bacaan untuk esok hari maupun bacaan lain yang menurutnya perlu untuk dibaca.
Titus juga akan selalu merayakan Ibadat harian. Bahkan ibadat siang pun dia doakan, walaupun dia berada di Universitas Nijemen tempat kerjanya. Setiap siang, dia menyempatkan diri untuk pulang, sejenak mendarasakan ibadat siang bersama konfrater di biara. Dari hal ini, kita bisa melihat bahwa pendarasan ibadat yang dilakukan Titus Brandsma ini, bukan sebatas rutinitas. Tetapi lebih dari itu, dia memang sungguh menjadikan ibadat harian sebagai bagian dari hidupnya. Baginya tidak ada yang bisa menghalanginya untuk mendaraskan ibadat harian.
Sebagai usaha untuk bersatu dengan Allah, dia juga setia untuk merenungkan misteri sengsara Putra-Nya dalam doa Jalan Salib. Dalam doa ini, dia belajar untuk bisa mengalahkan diri. Dia meyakini bahwa persatuan dengan Allah dapat dicapai dengan usaha untuk meninggalkan diri. Dia sadar bahwa Yesus pun demikian. Yesus mampu menyelesaikan segala tugasnya dan bersatu lagi dengan Allah Bapa karena sengsara dan wafat di Salib. Yesus mampu meninggalkan diri dan menghilangkan rasa takut menjelang Jalan Salib yang ditanggungnya.  Karena hal inilah, Titus Brandsma setia mendoakan kisah sengsara ini. Jalan Salib adalah jalan setia meneladan Yesus Kristus dan jalan untuk bersatu dengan Allah Bapa. Iman inilah yang menguatkan dia ketika berada di kamp konsentrasi Nazi.
Segala hal yang dia kerjakan di atas adalah semata untuk bersatu dengan Allah. Namun dia sadar bahwa dirinya lemah dan perlu bantuan dari figur lain untuk dapat bersatu dengan Allah. Dalam hal ini, dia meminta bantuan/perantaraan dari Bunda Maria. Doa Rosario adalah doa favoritnya. Dia begitu rendah hati dan mengakuti kelemahannya. Hal inilah yang membuat dia merasa butuh bantuan/perantaraan dari Bunda Maria. Baginya, Maria adalah seorang ibu dan penolongnya untuk bisa mencapai Allah. Maria adalah figur yang mengetahui segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Dia sangat mencintai Maria. Hal ini juga yang mendorongnya untuk masuk ke Ordo Karmel. Dia berharap semakin dekat dengan Bunda Maria yang dia cintai.

Berdoa sebagai Karmelit
Sebagai seorang pendoa, Titus Brandsma hidup dalam keheningan. Kehingan bukanlah sesuatu yang mudah didapat, namun Titus selalu berusaha untuk menciptakan keheningan dalam dirinya. Aktifitas dan lingkungan kerjanya kurang mendukung, namun dia tetap berusaha menempatkan hati dan batinnya dalam keheningan.
Keheningan adalah sarana yang tepat baginya untuk berjumpa dengan Allah. Keheningan membantunya untuk sadar bahwa Allah hadir secara mendalam dalam dirinya. Dari keheningan inilah, Titus mampu masuk ke dalam dirinya dan berjumpa dengan Allah. Di tempat itulah dia berdoa dan bersemuka dengan Allah.
Tempat kudus bagi Allah tidak hanya terletak di gereja, kapel, atau ruang doa. Titus menganggap bahwa tempat kudus bagi Tuhan terletak dimana-mana. Titus merasa bahwa, dia mampu menemukan Allah di semua tempat kerja maupun aktifitasnya. Allah mampu dia temukan dimana-mana, dan di tempat itulah Dia berada. Baginya, semua ini mampu dialami hanya karena keheningan. Pertemuannya dengan Allah ini disebutya sebagai doa.
Dalam keheningan dia mendengarkan bisikan Roh Kudus yang menyampaikan kehendak Allah. Keheningan membawanya pada situasi dimana Allah sungguh meraja dan menjadi pemilik dirinya. Dengan keyakinan ini, hal-hal yang bukan berasal dari Allah mampu dia hindari. Hidupnya begitu dekat dengan Allah. Keheningan membantu Titus untuk mengenal Allah dengan mendalam.
Ketika di penjara, dia bersyukur kepada Allah karena dia merasakan suasana hening yang mendalam. Dia merasa begitu dekat dengan Allah. Dia sungguh yakin bahwa Allah sungguh bersemayam dalam keheningan. Allah sungguh dia rasakan ketika di penjara yang hening tersebut. Bukan lagi suasana mencekam yang dia dapat, namun suasana damai bersama Allah.

Berdoa sebagai Sesama
Sebagai Karmelit tidak boleh lupa bahwa kita berada di dunia nyata bersama orang lain. Sebagai sesama, kita diberi oleh Allah sarana lain untuk berdoa. Titus Brandsma menyadarkan kita bahwa doa tidak melulu dilakukan dalam sikap doa. Namun doa bisa dilakukan dari tindakan kita peduli kepada sesama.
Kepeduliannya kepada sesama, dimaknainya sebagai ungkapan terima kasih kepada Yesus akan segala kebaikan yang telah diterima. Maka dalam hidupnya, dia dikenal sebagai Karmelit yang peduli pada orang lain. Kepada mereka yang membutuhkan, Titus bersedia dengan rela menolong dan membantu. Tidak heran jika banyak orang datang ke biaranya hanya untuk meminta bantuan entah itu materi maupun non materi kepadanya. Dia juga memberikan kasih kepada konfrater di biara dengan segala perbedaan yang ada. Bahkan dia juga mengasihi musuh-musuhnya, yaitu mereka yang telah membunuhnya. Salah satunya adalah perawat yang menyuntikkan racun kepadanya diberi Rosario olehnya.
Sebagai sesama, dia rela untuk melaksanakan perintah para uskup untuk menyampaikan pesan kepada seluruh redaksi majalah Katolik. Pesan yang menentang kerja sama dengan Nazi tersebut sangat berbahaya. Namun dengan rela, dia menyampaikan semua yang dipercayakan kepadanya. Selain itu, ketika di penjara dia masih merayakan Ekaristi bersama tahanan yang lain padahal kegiatan itu dilarang oleh Nazi. Dia rela dan tanpa takut merayakan Ekaristi demi melayani sesamanya yang butuh kekuatan rohani. Dia tidak memikirkan lagi dirinya, entah nantinya disiksa atau bahkan dibunuh. Dia rela berkorban dan tidak takut mati hanya demi sesamanya. Sungguh inilah yang dimaksudkannya dengan berdoa sebagai sesama, yaitu melakukan segala sesuatu demi sesamanya sebagai bentuk cintanya kepada Allah.
Penutup
Itulah kehidupan doanya yang begitu kental dengan jiwa Katolik, Karmelit, dan jiwa sebagai sesama. Tidak ada hal yang menakjubkan dalam hidup doanya. Dia hanya menunjukkan setiaan dan kesungguhan dalam menghidupi hidup doanya. Dia sadar bahwa Karmelit memang dipanggil untuk setia dan penuh penghayatan dalam hidup doa. Hidup doa adalah anugerah Allah yang tidak pernah dia sia-siakan.
Hidup doa yang mendalam membawanya pada hidup kontemplasi; dan hidup kontemplasi membawanya pada Allah. Usaha untuk selalu mencari wajah Allah, ternyata membuahkan hasil. Dia sadar dan menemukan bahwa Allah ada dan bersemayam dalam lubuk jiwanya yang mendalam, yang selama ini selalu mendorongnya untuk hidup dalam doa dan kotemplasi. Allah hidup dan besemanyam dalam dirinya. Lewat doa, dia telah menyapa Allah. Dan membiarkan Allah memimpin hidupnya. Inilah yang membentuknya menjadi pribadi yang terbuka pada kehendak Allah.


“Kini Dialah (Tuhanlah) satu-satunya pengungsianku dan aku merasa aman serta bahagia.”

Beato Titus Brandsma


Minggu, 12 Februari 2017

Pengikraran kaul sementara Frater Marianus Ivo Meidinata dalam Ordo Saudara-saudara Santa Perawan Maria dari Gungung Karmel, di Gereja Paroki Hati Kudus Yesus Kayutangan Malang.


Prosesi pengikraran kaul sementara Frater Marianus Ivo Meidinata dalam Ordo Saudara-saudara Santa Perawan Maria dari Gungung Karmel, di Gereja Paroki Hati Kudus Yesus Kayutangan Malang.





Spirituallitas Ordo Karmel

Spirituallitas Ordo Karmel


Spiritualitas adalah semangat atau tujuan hidup yang dihidupi oleh suatu kelompok. Ordo Karmel sebagai kelompok religius juga memiliki spiritualitas. Spiritualitas yang dihidupi oleh Ordo Karmel adalah mengikuti Yesus Kristus. Mengikuti Yesus Kristus itu ada banyak macamnya, namun Ordo Karmel memilih untuk meneladan Nabi Elia dan Bunda Maria dalam mengikuti Yesus. Secara singkat, Ordo Karmel memiliki spiritualitas mengikuti Yesus Kristus, dengan jalan mengikuti teladan Nabi Elia dan Bunda Maria.
Dalam usaha mengikuti Yesus Kristus ini, para Karmelit hidup dalam kontemplasi. Kontemplasi berarti bersemuka dengan Allah, atau lebih sederhananya  hidup dalam Allah. Wujud nyata hidup dalam Allah, diusahakan oleh para Karmelit dengan menghidupi 3 kharisma Karmel, yaitu dengan hidup doa, persaudaraan, dan pelayanan. Dengan kharisma yang dihidupi ini, para Karmelit hidup dalam Allah/hidup dalam kontemplasi bersama Allah.
Hidup doa adalah inti dan dasar hidup para Karmelit. Para Karmelit dipanggil dalam hidup doa untuk menimba kekuatan dari Allah. Kekuatan Allah ini menjiwai para Karmelit dalam hidup dan aktivitas sehari-hari. Dalam relasi/doa kepada Allah, para Karmelit merasakan dan mendapatkan cinta. Cinta inilah yang kemudian dibagikan kepada sesama lewat hidup persaudaraan dan pelayanan.
Sejak awal mula, para Karmelit dibentuk dalam komunitas. Dalam komunitas inilah para Karmelit menganggap satu sama lain sebagai saudara. Relasi dengan Allah tidak akan berarti jika tidak diwujudkan dalam relasi persaudaraan dengan sesama. Persaudaraan ini, kemudian menjadi penggerak para Karmelit untuk memberi pelayanan.
Pelayanan sebagai wujud akhir doa dan persaudaraan para Karmelit. Pelayanan ini memiliki dasar doa dan persaudaraan, sehingga diharapkan orang lain pun merasakan kekuatan doa dan persaudaraan; dan tertarik untuk juga melakukannya. Ada satu motto dalam pelayanan Karmel, yakni contemplationem aliis tradere, yang berarti membagikan sikap kontemplatif kepada orang lain. Inilah ciri khas pelayanan para Karmelit. Para Karmelit berusaha mengajak sesama untuk ikut merasakan cinta Allah yang sejatinya ada dalam hidup doa, persaudaraan, dan pelayanan. (Fr. Ivo, O.Carm.)